Edisi: 1.247
Halaman 1
Integritas |Independen |Kredibel
KUPANG TIMES - Jumlah Korban Tewas akibat Bencana Banjir dan Longsor di Pulau Sumatera terus bertambah.
Hari ini, Selasa (02/12/25), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terbaru jumlah korban meninggal di 3 (tiga) Provinsi, antara lain: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Total Jumlah Korban meninggal, akibat bencana di Sumatera, per-Senin malam, 01 Desember 2025 mencapai 604 orang.
Rinciannya: 151 Korban Meninggal di Aceh • 165 Korban Meninggal di Sumatra Barat dan 283 Korban Meninggal di Sumatera Utara.
sedangkan Total Jumlah Korban Hilang 464 Jiwa, Korban Luka 2.600 orang, dan yang terdampak 1,5 Juta.
Adapun 570.700 warga mengungsi akibat bencana tersebut.
dari peristiwa tersebut, timbul pertanyaan: Mengapa Pemerintah /Pejabat lebih suka menanggulangi bencana dari pada mencegahnya.?
Kita bahas menggunakan analisis 'ROI' (Return on Investment) Politik.!
Pola yang selalu berulang,
Pernah Perhatikan Siklus ini.?
1. BMKG rilis Peringatan 'Siaga /Awas' Cuaca Ekstrem,
2. Pemda Hening, tidak ada Perintah Evakuasi, Sirine /Alarm Mati,
3. Bencana Terjadi (Banjir /Longsor),
4. Pejabat Hadir menggunakan Perahu Karet, bagi-bagi Nasi Bungkus, di-liput Media.
Kenapa Peringatan awal, sering dicuekin.? Apakah mereka (Pejabat) tidak tahu.?
Alasan #1 • 'the Prevention Paradox'
Teori Kebijakan Publik, menjelaskan, masalah utama dari pencegahan bencana, antara lain:
1. Keberhasilannya Tidak Terlihat (Invisible Success)'
2. Apabila Pemda Sukses Mencegah Banjir, hasilnya adalah 'tidak ada apa-apa.'
3. Sungai mengalir seperti biasa, warga tidur nyenyak, tidak ada drama tidak ada berita.
4. tidak ada yang bertepuk tangan, untuk banjir yang tidak terjadi.
Padahal Penanggulangan Bencana = Visible Failure
alam tidak pernah berubah, hujan lebat, gunung merapi erupsi dan meletus hingga gempa bumi, sudah ada sejak manusia belum ada di bumi.
sehingga semua penanggulangan bencana, pada dasarnya adalah akibat dari kegagalan sistemik, dalam mengelola apa yang sudah biasa terjadi pada alam.
Bencana adalah Panggung,
dalam sistem Pemerintahan Demokrasi, Popularitas dan Pencitraan adalah Kunci Kemenangan Elektoral.
seorang Pejabat yang masuk ke lumpur, menggendong anak kecil atau lansia hingga membagikan sembako, menciptakan citra 'Pahlawan yang Hadir.'
Media meliputnya secara Gratis, Netizen memberikan Komentar Positif dan Elektabilitas Naik.
secara Kalkulasi Politik,
Mencegah = Kerja Sunyi, Biaya Mahal, Nol Apresiasi
Alasan #2 • 'Ketakutan akan False Alarm'
Bayangkan, Bupati memerintahkan evakuasi, karena peringatan BMKG.
Pasar ditutup, warga diungsikan.
ternyata banjirnya tidak jadi datang.
Apa yang terjadi.? warga marah.!
"Pasar sepi, Kami rugi, Bupati lebay bikin panik."
Pemimpin yang agresif mencegah, justru sering dianggap sebagai 'penganggu ekonomi' jika bencananya meleset.
Akhirnya, cara paling rasional: 'Pejabat memilih Berjudi.'
Pejabat bertaruh dengan Probabilitas:
Kalau diam dan tidak banjir = aman dan hemat
Kalau diam dan banjir = minta maaf, bilang ini "takdir /cobaan" lalu bagi Bansos.
Opsi Diam, jauh lebih aman, bagi karier politik mereka, dari pada opsi evakuasi tapi meleset.
Alasan #3 • 'Masalah Uang atau Anggaran'
di APBD /APBN, ada pos Belanja Tidak Terduga (BTT) atau Dana Siap Pakai (DSP)
Ironisnya, dana jumbo tersebut, baru bisa cair dengan mudah dan cepat, setelah 'Status Tanggap Darurat' ditetapkan, artinya: bencana sudah terjadi.
Kalau mau pakai dana besar, untuk 'pencegahan' di hari biasa.?
Prosesnya panjang, auditnya ribet dan rawan dituduh korupsi.
Sistem Kita menciptakan 'Pahlawan Kesiangan'
Jadi, jangan kaget dan heran, kalau peringatan BMKG sering berakhir di grup Whatsapp saja, tanpa aksi nyata.
Sistem politik, insentif media dan struktur anggaran Kita di desain untuk merespon, bukan untuk mengantisipasi.
Kita memberi insentif kepada 'Pemadam Kebakaran' bukan kepada 'Arsitek Bangunan Tahan Api'
Jadi Siapa yang Salah.?
Ya.. Saya dan Anda, sebagai rakyat yang memiliki hak suara, kita mudah sekali terlena dengan produk literasi politik yang dramatis.
Refleksi untuk Kita: Apakah Kita sebagai pemilih, lebih menghargai pemimpin yang hadir saat Kita susah.?
atau Pemimpin yang bekerja dalam sunyi, "supaya kita tidak susah.?
turut berduka untuk saudara kita di berbagai belahan Pulau Sumatera.
semoga situasi ini segera terkendali dan rakyat Indonesia semakin melek politik dan cerdas dalam memilih pemimpinnya di masa depan.
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Opini, Bencana, Sosial, Politik,
| Penulis: W.J.B
| Sumber: BNPB, DC,
| Penerbit: Kupang TIMES

