Edisi: 1.186
Halaman 4
Integritas |Independen |Kredibel
KUPANG TIMES - Seleksi Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kupang kini memasuki babak paling menentukan.
dari lima nama yang mendaftarkan diri ke panitia seleksi, tinggal tiga jagoan yang bertahan di ring terakhir: Jeffry Edward Pelt, Jermi Haning dan Wildrian Ronald “Andre” Otta.
mereka adalah yang terbaik menurut tim panitia seleksi. tapi di atas kertas, angka bukan segalanya, ada satu faktor tak kalah penting: 'intuisi Wali Kota Kupang, Christian Widodo.'
sebagaimana umumnya di Indonesia, perihal Kepemimpinan di NTT bukan sekadar urusan birokrasi. Ia juga soal legitimasi sosial bahkan spiritual.
harus kita akui bahwa gereja, organisasi pemuda dan jaringan kemasyarakatan punya peran vital dalam menentukan apakah seorang pejabat diterima masyarakat atau tidak.
Namun dalam konteks ini, pada saat yang sama, pemerintah pusat ikut “mengunci pintu."
KASN, BKN dan Kemendagri tetap memegang mekanisme persetujuan dan rekomendasi sebelum pelantikan dilakukan.
Sekda adalah tulang punggung birokrasi daerah dan pusat ingin memastikan orang yang duduk di kursi itu mampu menyambungkan kebutuhan lokal dengan program strategis nasional.
Arena seleksi kali ini memperlihatkan tiga wajah kepemimpinan yang berbeda.
Andre Otta datang sebagai “kuda hitam”—sebagaimana disebutkan media massa, dengan semangat digitalisasi, Inovasi aplikasi Sodamolek dan kiprahnya di Karang Taruna menunjukkan kombinasi antara birokrasi modern dan jejaring sosial akar rumput.
Jeffry Pelt tampil sebagai kandidat paling mapan pengalaman. Senior Birokrasi dengan modal spiritual yang kuat melalui keterlibatannya dalam banyak urusan gereja pada berbagai aras, ia identik dengan stabilitas dan legitimasi komunal.
Sementara itu, Jermi Haning dari Rote Ndao hadir sebagai outsider yang membawa netralitas dan pengalaman administrasi lintas daerah. Mungkin tidak memiliki ekspos jaringan sosial sebesar dua nama lainnya, namun netralitas itu sendiri bisa menjadi modal objektif.
semua mata kini tertuju pada Christian Widodo.
Publik mengenalnya sebagai sosok yang cerdas dalam berbahasa, dengan intuisi tinggi dalam membaca situasi.
Wawancara akhir bukan hanya formalitas; ia menjadi momen di mana intuisi sang wali kota bekerja. di ruang ini, bukan angka atau CV yang paling menentukan, melainkan bagaimana gagasan, gerak tubuh dan resonansi pribadi setiap kandidat bisa menyentuh nurani seorang pemimpin.
Calon yang paling teknis mungkin piawai di atas kertas, tetapi mampukah ia menggaet hati publik.? Figur yang dianggap paling aman tampak menjanjikan, namun bisakah ia beradaptasi dengan kecepatan zaman.? Kandidat dari luar membawa netralitas, tapi sanggupkah ia membangun ikatan yang dalam dengan masyarakat Kupang.? Semua pertanyaan itu berpaut pada satu hal: intuisi seorang pemimpin yang harus menimbang jauh melampaui angka.
Tantangan Birokrasi Kota Kupang saat ini tidak ringan. Digitalisasi pelayanan publik belum sepenuhnya merata, tata kelola aset masih butuh pembenahan dan kualitas sumber daya aparatur sering kali jadi sorotan.
Sekda yang baru tidak cukup sekadar menjaga jalannya roda pemerintahan; ia harus mampu mengubah mesin birokrasi menjadi lebih cepat, akuntabel dan responsif terhadap tuntutan warga kota di era yang makin canggih saat ini.
Masyarakat juga mengharapkan seorang Sekda yang hadir dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di balik meja kantor atau ruang rapat.
Warga ingin pejabat yang benar-benar menyentuh pelayanan konkret: dari pengurusan izin usaha, administrasi kependudukan, hingga pelayanan publik paling sederhana.
Birokrasi yang ramah dan gesit akan menjadi wajah baru Kupang dan siapa pun yang dipilih sebagai Sekda akan langsung diuji lewat interaksi nyata dengan masyarakat.
Wali Kota memang memiliki hak prerogatif untuk memilih, tetapi—sekali lagi, pilihan itu tetap harus “direstui” pusat melalui rekomendasi KASN, BKN dan Kemendagri.
Inilah tarian politik yang rumit: mempertahankan daya saing lokal tanpa bertabrakan dengan kebijakan nasional.
Pada titik inilah intuisi harus berpadu dengan strategi, agar tarian itu elok dipandang.
Publik Kupang kini menanti: ke mana intuisi Christian Widodo akan berlabuh—pada inovasi, stabilitas atau netralitas.? Intuisi, dalam kepemimpinan, bukan sekadar naluri sesaat. Ia adalah kemampuan membaca tanda-tanda di sekitar—dengan segera, menangkap denyut publik, sekaligus meramu semua informasi yang bertebaran menjadi keputusan yang tepat.
Seorang pemimpin yang hanya mengandalkan data bisa keliru, karena data sering kali dingin.
Begitu juga seorang pemimpin yang hanya bergantung pada perasaan bisa terseret arus.
Intuisi adalah pertemuan keduanya: kecerdasan rasional yang dipadu dengan kepekaan emosional.
Tentu saja risiko selalu ada. Intuisi yang kabur bisa menyeret pada kompromi yang salah atau sekadar memilih figur aman tanpa keberanian melihat jauh ke depan.
Salah membaca tanda-tanda zaman bisa berakibat fatal: birokrasi yang tertinggal, masyarakat yang kecewa, dan program nasional yang tersendat di tingkat lokal.
Karena itu, masyarakat berharap pilihan ini lahir dari intuisi yang jernih—bukan sekadar kompromi politik, tetapi hasil dari kepekaan dan keberanian seorang pemimpin.
Pada akhirnya, keputusan ini bukan hanya soal siapa yang akan menjadi Sekda, melainkan juga soal bagaimana kepemimpinan Christian Widodo dan Serena Francis akan dikenang.
Apakah intuisi mereka cukup kuat untuk melahirkan keputusan yang selaras dengan strategi pembangunan nasional, sekaligus menjawab kebutuhan birokrasi Kupang yang gesit, responsif dan berakar pada kepercayaan rakyat.?
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Politik,
| Penulis: W.J.B
| Sumber: berbagai literasi,
| Penerbit: Kupang TIMES