Ketua LMKN, Dharma Oratmangun: "PUTAR Suara Burung Juga Bisa KENA Royalti."

Edisi: 1.229
Halaman 1
Integritas |Independen |Kredibel

      Potret: National Geographic|Properti

JAKARTA, KUPANG TIMES - Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, Dharma Oratmangun, menanggapi, polemik pemutaran lagu di cafe, restoran dan tempat usaha lainnya, yang harus berurusan dengan royalti.

Dharma, juga menanggapi, langkah sejumlah pelaku usaha yang memilih memutar suara burung hingga suara alam, supaya tidak kena royalti, setelah kasus Mie Gacoan yang masuk ranah pidana dan perdata.

Dharma, menjelaskan, ambience, seperti; suara alam hingga burung juga tetap terikat dengan pihak yang pertama kali merekam alias produser fonogram.

"enggak ada kewajiban harus memutar musik.. tapi kalau mereka memutar musik di dalam itu.. mau itu musik Indonesia atau lagu barat atau lagu tradisional.. itu wajib membayar hak cipta, 

sekarang kalau dia putar suara burung atau suara apa pun.. itu ada hak dari produser fonogramnya, 

Produser yang merekam itu kan punya hak terkait.. Hak terhadap materi rekaman itu.. itu juga hak terkait dari bentuk rekaman audio."|Dharma (Ketua KLMKN), dikutip dari detikcom, Minggu, (03/08/25).

Dharma, menjelaskan aturan tentang royalti, tidak hanya berlaku untuk lagu-lagu dari Indonesia, tetapi juga produksi luar negeri. 

royalti tersebut, bahkan tetap dibayar melalui LMKN.

Dharma, memastikan, lembaga manajemen kolektif (LMK) di bawah naungan LMKN sudah bekerja sama dengan LMKN dari luar negeri, sehingga proses pembayaran royalti dapat diurus dengan mudah lewat satu pintu.

"Jadi, pakai lagu luar negeri pun harus bayar royalti melalui LMKN,

Iya itu kan kami collab dengan LMKN yang ada di masing-masing negara, 

Jadi, imbauannya itu adalah pakai aja musik, bayar royalti, selesai."|Dharma (Ketua KLMKN),

cukup tahu • Royalti Musik menjadi polemik panjang yang belum kunjung menemui titik terang untuk berbagai pihak. 

masalah royalti tersebut bahkan merembet hingga pelaku usaha, terutama sejak kasus Mie Gacoan terkena gugatan royalti.

Kasus tersebut melibatkan bos Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, yang menjadi tersangka kasus hak cipta musik dan lagu. 

I Gusti Ayu, terlibat kasus, menyusul, salah satu LMK bernama SELMI menggugat Ayu, karena menggunakan dan memutar musik dan lagu secara komersial di tempat usahanya.

dari kejadian tersebut, sejumlah pebisnis di tanah air memutuskan bersuara, untuk tidak memutar lagu lokal di lokasi usaha mereka, meskipun berasal dari layanan streaming yang sudah membayar langganan.

Pengusaha kafe, restoran dan hotel, mengaku was-was memutar lagu di tempat usaha usai kasus royalti Mie Gacoan tersebut.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, memahami, beberapa pengusaha memutar kicauan burung /atau suara alami lainnya sebagai pengganti lagu.

"Kalau ditanya kepada kami, pasti ya [ada kekhawatiran] karena pemahaman di kalangan pengusaha tentang aturan di UU 28/2014 itu belum merata."|Yusran (Sekjen PHRI), Rabu, (30/07/25).

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Hukum, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: LMKN, PHRI, 

| Penerbit: Kupang TIMES

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®