Edisi: 1.192
Halaman 1
Integritas |Independen |Kredibel
KUPANG TIMES - 'Pemerintah daerah menumpuk dana IDR 233,11 Triliun di Bank. Buah dari Pemangkasan Anggaran dan lemahnya Perencanaan Pembangunan.'
Pada Agustus 2025 lalu, sejumlah daerah heboh, karena para pemimpinnya berniat menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Ketika itu, para Bupati dan Wali Kota beralasan kenaikan PBB-P2 hingga ratusan persen, Penting untuk mendanai Pembangunan setelah Pemerintah Pusat memotong dana Transfer Ke Daerah.
Rencana kenaikan pajak tersebut, kemudian memicu aksi demonstrasi besar seperti yang terjadi di Pati, Jawa Tengah.
aksi demontrasi karena persoalan fiskal yang rupanya belum selesai atau setidaknya memicu masalah dalam bentuk lain.
situasi tersebut, terungkap dari laporan Kementerian Keuangan RI yang menulis; 'pemerintah daerah masih menumpuk dana di bank sebesar IDR 233,11 triliun per-Agustus 2025.
beberapa yang terlacak antara lain dana IDR 84,77 triliun milik 119 pemerintah daerah di Jawa, sebanyak IDR 51,34 triliun disimpan oleh 61 pemerintah daerah di Kalimantan, dan IDR 41,63 triliun milik 164 pemerintah daerah di Sumatera.
Belum lagi yang disimpan oleh pemerintah daerah di pulau-pulau lain.
Selama beberapa bulan, dana-dana tersebut ngendon di sejumlah bank daerah.
dulu, penimbunan anggaran dilakukan oleh para kepala daerah yang berharap bisa memanfaatkan bunga dari dana-dana simpanan itu.
sekarang bukan berarti niatan semacam itu tidak ada sama sekali, tapi motif menimbun dana lebih karena kekhawatiran para bupati dan wali kota.
rupanya para kepala daerah takut, jika dana-dana tersebut disalurkan pada awal tahun, kebutuhan belanja rutin seperti; pembayaran gaji pegawai tak tercukupi.
Kekhawatiran ini muncul setelah pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah yang seharusnya menjadi modal pembangunan.
Persoalan lain yang terjadi adalah ketakutan para kepala dinas untuk menyelenggarakan program rutin atau proyek lanjutan dari tahun-tahun sebelumnya.
para kepala dinas dan pemangku anggaran banyak yang khawatir muncul masalah jika sudah menggelar tender atau program pengadaan pada awal tahun.
ini merupakan buntut dari pergantian pemerintahan di tingkat pusat dan daerah. • tentu akan muncul masalah besar jika para kepala dinas sudah kadung menggelar tender dan pengadaan, sementara program atau proyeknya dihapus oleh kepala daerah yang baru. • mereka pun memilih menimbun sementara anggaran di bank. • yang jelas, persoalan ini selalu berulang setiap tahun.
beberapa waktu lalu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengidentifikasi masalah klasik yang menyebabkan rendahnya penyerapan belanja daerah.
PERTAMA • tidak diterapkannya pola pikir "money follow function" atau anggaran yang mengikuti program oleh para pengampu kebijakan di daerah.
KEDUA • lambatnya penerbitan peraturan daerah tentang anggaran.
KETIGA • proses lelang atau tender yang rumit.
semua masalah ini menunjukkan lemahnya perencanaan dan tata kelola pemerintahan daerah.
dampak dari penimbunan anggaran ini tidak main-main. • yang paling kentara adalah macetnya program pembangunan fisik ataupun nonfisik.
padahal banyak daerah yang memerlukan infrastruktur baru, seperti; jalan umum, jembatan, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan.
dampak lain adalah hilangnya efek berganda atau multiplier effect dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja daerah.
tidak ada dampak dari belanja pemerintah terhadap perekonomian, karena dananya hanya "duduk nyaman" di bank, tidak mengalir pada sektor bisnis ataupun masyarakat umum.
inilah yang disebut sebagai paradoks fiskal. • rekening kas daerah seolah-olah gendut di bank, tapi tidak ada efeknya untuk pembangunan.
Jatah anggaran besar, tapi minim dampaknya pada perekonomian daerah.
Jika sudah begini, cita-cita Presiden RI, Prabowo Subianto, soal pertumbuhan ekonomi 8% entah sampai kapan bisa terwujud.
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Keuangan,
| Penulis: W.J.B
| Sumber: Kemenkeu RI,
| Penerbit: Kupang TIMES