Mahkamah Konstitusi: 'Hak Imunitas Jaksa Bertentangan dengan UUD 1945, Jaksa Bisa Ditangkap Tanpa Izin Jaksa Agung.'

Edisi: 1.205
Halaman 3
Integritas |Independen |Kredibel

    Potret: Humas MK|Properti • Para Pemohon

JAKARTA, KUPANG TIMES - Mahkamah Konstitusi memutuskan dan mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). 

Permohonan diajukan Agus Setiawan (Aktivis/Mahasiswa), Sulaiman (Advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani.

Putusan diucapkan dalam sidang pleno yang digelar di Ruang Sidang Pleno Lantai II Gedung I MK, Kamis, (16/10/25). 

sidang putusan dipimpin langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, didampingi 8 (delapan) Hakim Konstitusi. 

Putusan dimaksud, antara lain: Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025. 

dalam amar putusan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan Permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian; menyatakan, Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat • sepanjang tidak dimaknai memuat pengecualian dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana khusus, • Pasal a quo, berbunyi: dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas Izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus. • menyatakan, Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran I Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan menyatakan permohonan Pemohon III serta permohonan Pemohon I dan Pemohon II sepanjang norma Pasal 11A ayat (1) huruf a dan huruf e serta ayat (3) UU 11/2021, tidak dapat diterima.

Persamaan di Hadapan Hukum, 

dalam Pertimbangan Hukum, Hakim Konstitusi, Arsul Sani, menjelaskan, perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum maupun penyelenggara negara yang menjalankan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman memang diperlukan. 

Namun, perlindungan tersebut tidak boleh meniadakan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Arsul, menjelaskan, setiap warga negara, termasuk aparat penegak hukum, seharusnya tetap dapat dikenakan tindakan hukum tanpa perlakuan istimewa. 

Perlindungan hukum hanya dapat diberikan dalam batas yang wajar, guna menjaga independensi penegak hukum dari tekanan atau gangguan dalam melaksanakan tugasnya.

Mahkamah menilai Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan, yang mengatur bahwa; pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, berpotensi menimbulkan perlakuan istimewa yang melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum.

“Norma tersebut tidak sejalan dengan semangat equality before the law dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum, 

oleh karena itu, Mahkamah berpendapat norma ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat."|Arsul (Hakim MK) dalam pembacaan pertimbangan hukum.

MK Ubah Pendirian, 

Arsul, mengatakan, berkenaan dengan norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021, setelah dicermati dengan saksama dan juga setelah diidentifikasi oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum tersebut di atas, adalah merupakan norma yang memiliki semangat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Jaksa yang sedang menjalankan tugas dan wewenangnya, maka tidak boleh dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan tanpa izin Jaksa Agung.

oleh karena itu, jika seorang Jaksa diduga melakukan perbuatan tindak pidana dan perbuatan dimaksud dilakukan ada kaitannya dengan tugas dan wewenangnya, maka terhadap Jaksa dimaksud tidak dapat dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan tanpa izin Jaksa Agung. 

dengan kata lain, seorang Jaksa yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diduga melakukan tindak pidana, tidak dapat dilakukan tindakan hukum oleh aparat penegak hukum, sekalipun tertangkap tangan, jika tidak ada izin dari Jaksa Agung.

berkenaan dengan hal tersebut, jika dikaitkan dengan uraian pertimbangan hukum sebelumnya, bahwa; perlindungan hukum untuk penegak hukum atau penyelenggara negara yang menjalankan tugas yang ada kaitannya dengan kekuasaan kehakiman memang diperlukan. 

oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut dan sebagaimana juga telah ditegaskan oleh Mahkamah sebelumnya, baik antara warga negara dengan penegak hukum maupun antara sesama penegak hukum itu sendiri seharusnya tetap terikat dengan prinsip equality before the law.

dengan demikian, jika mencermati dengan saksama semangat yang terdapat dalam norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 dan semangat memberikan perlindungan hukum untuk Jaksa sekalipun dikaitkan dengan menjalankan tugas dan wewenangnya, menurut Mahkamah norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 tidak selaras dengan semangat perlindungan hukum untuk aparat penegak hukum atau penyelenggara negara yang menjalankan tugas yang ada kaitannya dengan kekuasaan kehakiman lainnya yang juga berwenang dalam menjalankan tugas-tugas penegakan hukum sebagaimana jaksa.

dengan demikian, untuk menyelaraskan keberlakuan norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 dengan semangat yang terdapat dalam prinsip persamaan semua orang di hadapan hukum, khususnya dalam perspektif perlindungan hukum bagi sesama penegak hukum dan penegakan hukum yang tidak boleh dibeda-bedakan dengan warga negara pada umumnya, maka tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah berkaitan dengan norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat. 

berdasarkan pertimbangan hukum di atas, terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian sebagaimana yang telah dilakukan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 April 2014, di mana Mahkamah dalam Putusan tersebut berpendirian bahwa norma Pasal 8 ayat (5) UU 16/2004 yang memuat substansi yang sama dengan norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021, adalah konstitusional. 

Namun, dengan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas dan dengan mempersandingkan dengan perlakuan perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum lainnya, Mahkamah menggeser pendiriannya berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021.

berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dikecualikan/tidak diberlakukan dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara atau tindak pidana khusus."

Beda Pendapat, 

Pengambilan Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu; Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. 

Kedua Hakim, mengatakan, seharusnya MK menolak permohonan para Pemohon.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah beralasan, antara lain: pasal 8 ayat (5) UU kejaksaan dimaksudkan sebagai mekanisme perlindungan bagi jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bukan imunitas absolut. 

selain itu, ruang partisipasi jaksa agung sebagai advokat general dalam memberikan pertimbangan hukum teknis dalam proses kasasi apabila dilakukan secara professional, transparan dan akuntabel sejatinya memperkuat prinsip check and balances dalam konteks mewujudkan penegakkan keadilan.

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Hukum, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: Humas Mahkamah Konstitusi, 

| Penerbit: Kupang TIMES

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®