Hierarki dan Komando dalam Gereja: 'Inovasi Manajemen Pelayanan yang Keliru.!'

Edisi: 1.195
Halaman 4
Integritas |Independen |Kredibel

      Potret: WB|Properti

KUPANG TIMES - tulisan ini, menegaskan, 'Penerapan sistem Hierarki dan Komando dalam Gereja bertradisi Calvinis merupakan penyimpangan teologis Hermeneutis, dan Historis dari sistem Presbiterial-Sinodal yang berakar dalam teologi Reformed.'

Gereja Reformed berdiri di atas Prinsip: 'Kristus adalah satu-satunya Kepala Gereja, dan bahwa; Penatua, Pendeta maupun awam, memerintah secara Kolegial di bawah Firman dan Roh Kudus.'

namun, Inovasi Manajemen Pelayanan, menjadikan Gereja seperti Korporasi Modern, yang menggeser Orientasi teologis Gereja dari Persekutuan Rohani ke Birokrasi Struktural. 

tulisan ini, menekankan, dalam pertemuan Presbiterial, suara Kenabian tidak boleh dibungkam oleh: tekanan Organisasi atau Pastoral Palsu, sebab Kebebasan Profetis merupakan Ekspresi Ketaatan Gereja kepada Kristus sendiri.

hampir 30 tahun terakhir, gereja-gereja Calvinis beraliran Presbiterial-sinodal mulai mengadopsi sistem manajemen modern yang menekankan Efektivitas Kontrol, dan Hierarki. 

Pendeta diposisikan sebagai “atasan,” Majelis sebagai “pelaksana,” dan Sinode sebagai “kantor pusat.”

Fenomena ini terlihat efektif secara administratif, tetapi sesungguhnya merupakan inovasi manajemen yang keliru secara teologis. • manajemen tersebut menyalahi prinsip dasar pemerintahan gereja Reformed yang bersifat kolegial, representatif, dan tunduk pada otoritas Firman.

Gereja bukan Korporasi, melainkan tubuh Kristus yang Hidup. 

Karena itu, segala bentuk sistem Hierarki dan Komando yang membungkam suara Presbiter di bawah tekanan struktural adalah bentuk penyelewengan dari Kedaulatan Kristus sebagai Kepala Gereja. 

Penulis selidiki akar kekeliruan tersebut secara Biblika, Hermeneutika, Historis, dan menegaskan kembali Panggilan Gereja Reformed, untuk menjaga kebebasan Kenabian di dalam Pertemuan Gereja.

1. Fondasi Biblika: 'Kristus Kepala Gereja, Bukan Struktur.'

Kitab Suci dengan tegas menulis; Kristus adalah satu-satunya Kepala Gereja [Efesus 1:22 dan Kolose 1:18]. • tidak ada manusia atau jabatan yang berhak mengklaim otoritas ilahi di atas umat Tuhan. • dalam Kisah Para Rasul 15: 'Keputusan Penting tentang 'Sunat' diputuskan melalui Persekutuan Para Rasul dan Penatua dalam Persidangan di Yerusalem.'

Keputusan tersebut bukan dari otoritas tunggal Rasul Petrus atau Rasul Paulus, melainkan dari Konsensus di bawah pimpinan Roh Kudus: “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami.”|Kisah Para Rasul 15:28

Prinsipnya cukup Jelas: 'Pemerintahan Gereja bukanlah Perintah dari atas ke Bawah, melainkan hasil penapisan rohani bersama, di bawah Firman.' 

Prinsip tersebut menjadi dasar struktur Presbiterial-Sinodal, yang menolak Hierarki dan menjunjung tinggi Musyawarah dalam Kesetaraan Rohani.

Yesus sendiri menolak sistem Komando: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka."|Matius 20:25

"Tidaklah demikian di antara kamu.”|Matius 20:26

Karena itu, setiap Sistem Kepemimpinan Gereja yang mengadopsi sistem dunia: Kepemimpinan Bisnis, Jelas bertentangan dengan perintah Kristus sendiri.

2. Prinsip Hermeneutika dan Teologi Reformed, 

John Calvin, menegaskan dalam Institutes (IV.11.1): tidak ada satu orang pun yang boleh memerintah gereja; sebab hanya Kristus yang Raja dan Kepala.”

John Calvin, mengatakan, pemerintahan gereja bersifat Kolektif dan Spiritual, bukan Hierarkis. 

semua Penatua memiliki martabat dan Kuasa yang sama dalam melayani. 

Pendeta bukan atasan, melainkan rekan Penatua yang dipanggil untuk menafsirkan Firman dan menggembalakan Jemaat.

Herman Bavinck, mengatakan, dalam Reformed Dogmatics (Vol. 4) bahwa; gereja adalah tubuh organis, bukan mesin mekanis: “Gereja tidak dijalankan oleh satu tangan pengendali, melainkan oleh seluruh anggota tubuh yang tunduk kepada satu Kepala.”

Karl Barth, mengingatkan, dalam Church Dogmatics IV/2 bahwa; gereja kehilangan kesuciannya ketika “kekuasaan manusia menggantikan Kesaksian Firman.” 

Gereja Reformed hanya dapat dipimpin oleh Firman yang berdaulat atas semua Majelis.

dengan demikian, dari sudut Hermeneutika Reformed, segala tafsir tentang kepemimpinan gereja harus tunduk pada 2 (dua) Prinsip, antara lain:

a. Kristosentris: 'hanya Kristus Kepala Gereja.'

b. Kolegial-Representatif: 'Otoritas Gereja dijalankan bersama oleh Penatua yang dipanggil dan diurapi Roh Kudus.'

3. Kritik terhadap sistem Hierarki dan Komando, 

Penerapan sistem Komando dalam Gereja Reformed mengandung 3 (tiga) Kesalahan Besar, antara lain:

a. Kesalahan Teologis, 

sistem hierarki menggeser otoritas dari Kristus ke tangan manusia. 

dan sistem tersebut mengubah Pelayanan menjadi Kekuasaan dan menggantikan Panggilan Rohani dengan administrasi duniawi. 

Gereja tidak lagi berjalan oleh Iman, tetapi oleh perintah struktural, dan ini adalah pelanggaran terhadap solus Christus dan sola Scriptura.

b. Kesalahan Hermeneutis, 

menafsirkan otoritas rohani sebagai otoritas jabatan adalah bentuk Eisegese: 'memasukkan ide dunia modern ke dalam teks Kitab Suci.'

dalam Hermeneutika Reformed, teks harus berbicara dari Firman, bukan dari budaya manajemen. 

Gereja adalah Persekutuan di bawah Roh Kudus, bukan organisasi di bawah komando.

c. Kesalahan Historis, 

sistem Presbiterial-Sinodal hadir sebagai reaksi terhadap hierarki Katolik dan tirani episkopal. 

Sinode Dordrecht (1618–1619), menegaskan, “tidak boleh ada satu gereja atau pejabat yang berkuasa atas yang lain.”

maka, setiap penerapan sistem Komando dalam gereja Reformed merupakan langkah mundur, kembali ke sistem yang ditolak oleh Yesus [Matius 20:25-26]

4. Sidang Presbiterial dan Suara Kenabian: 'Bebas dari Tekanan Struktural.'

sidang gereja Reformed bukanlah forum administratif, melainkan ruang rohani di mana Kristus sendiri memimpin melalui Roh Kudus. 

Ketika para Penatua hadir dalam pertemuan Gereja, mereka tidak sedang mewakili struktur, melainkan tubuh Kristus yang sejajar di bawah Firman. 

Karena itu, tidak boleh ada tekanan, manipulasi atau intervensi birokratis terhadap suara presbiter.

Alkitab mengajarkan: 'setiap orang percaya diberi karunia untuk berbicara menurut pimpinan Roh [1 Korintus 12:11].' 

dalam 1 Tesalonika 5:21 • Rasul Paulus berkata; “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”

artinya; setiap presbiter memiliki tanggung jawab rohani untuk menilai dan menyampaikan pendapat berdasarkan Firman, bukan berdasarkan perintah atasan atau loyalitas struktural.

John Calvin menegaskan dalam tulisannya terkait Kitab 1 Korintus 12:11:tidak seorang pun memiliki hak membungkam mereka yang berbicara menurut Firman, sebab Firman itu sendiri yang berotoritas.”

maka, dalam persidangan presbiterial, suara Kenabian adalah suara Kristus sendiri yang berbicara melalui umat-Nya. 

Jika suara itu dibungkam oleh alasan “aturan organisasi,” maka gereja telah menukar teologi dengan politik.

5. Pastoral Palsu: 'Ketika Damai Menjadi Dalih untuk Membungkam Kebenaran.'

salah satu bentuk penyimpangan halus dalam gereja modern adalah “pastoral palsu.” 

ini terjadi ketika pendekatan pastoral digunakan bukan untuk memulihkan, tetapi untuk menetralisir kritik teologis atau membungkam suara profetis.

Pendeta atau pejabat gerejawi menggunakan retorika harmoni dan kesatuan untuk menolak perbedaan suara, seolah-olah kritik adalah ancaman terhadap damai gereja.

John Calvin, mengatakan, pastoral sejati bukan berarti menghindari konflik, tetapi menyatakan kebenaran dengan kasih dan keberanian.

 “Gembala sejati harus lebih takut akan murka Kristus daripada ketidaksenangan manusia.” (Institutes, IV.12.2)

Karena itu, pastoral palsu, yang membungkam kritik demi kenyamanan adalah bentuk kompromi dengan dosa. 

Gereja Reformed dipanggil untuk membiarkan Roh kebenaran berbicara bahkan jika itu mengguncang kenyamanan struktur.

6. Implikasi Teologis dan Etis, 

a. Sidang presbiterial adalah ruang teologis, bukan ruang komando.

b. Kebebasan berbicara di bawah Firman adalah hak sakral setiap penatua.

c. Tekanan struktural adalah pelanggaran terhadap prinsip solus Christus.

d Pastoral sejati adalah keberanian untuk menegur demi kebenaran, bukan menenangkan demi stabilitas.

e. Ketaatan sejati lahir dari keyakinan rohani, bukan dari rasa takut akan struktur.

Setiap bentuk intimidasi, tekanan politik gerejawi atau manipulasi administratif terhadap para penatua dalam sidang sinodal adalah pengkhianatan terhadap eklesiologi Reformed.

7. Kesimpulan: 'Kembali Ke Akar Reformed.'

Hirarki dan Komando dalam Gereja adalah inovasi manajemen yang keliru dan berbahaya. 

dan itu menyalahi Kitab Suci, bertentangan dengan Hermeneutika Reformed, dan mengingkari sejarah gereja presbiterial-sinodal. 

Gereja Reformed dipanggil untuk kembali kepada prinsip: 'Kristus satu-satunya Kepala Gereja.'

Pemerintahan dijalankan oleh majelis penatua secara kolegial.

Keputusan diambil dalam persekutuan sinodal di bawah Firman dan Roh Kudus.

Kebebasan kenabian dijaga sebagai nafas gereja yang hidup.

Efektivitas organisasi tidak boleh menggantikan kesetiaan teologis. 

Gereja bukan Korporasi, melainkan tubuh Kristus. 

Setiap suara penatua yang berbicara menurut Firman harus dihormati sebagai suara Kenabian.

 “Kebenaran tidak dapat diatur oleh peraturan manusia, sebab ia berdiri di atasnya.”|John Knox (Teolog) 

Ketika gereja Reformed menolak model komando dan menjaga kebebasan profetis di dalam sidangnya, dan sedang meneguhkan jati dirinya: 'gereja yang hidup dari Firman, dipimpin oleh Kristus, dan diperbaharui oleh Roh Kudus.'

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Sejarah, Religius, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: John Calvin, John Knox, Herman Bavinck, Karl Barth, HZ, 

| Penerbit: Kupang TIMES

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®