Edisi: 1.193
Halaman 3
Integritas |Independen |Kredibel
JAKARTA, KUPANG TIMES - 'Penolakan Pelaksanaan Putusan MK yang memisahkan Pemilu Nasional dan Lokal disampaikan Partai NasDem.
Sebelumnya, Sinyal Penolakan Putusan MK semakin menguat di lingkaran Parlemen.'
Partai NasDem menolak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan skema pemilihan umum nasional dan daerah.
Partai NasDem menilai putusan tersebut problematik, melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, dan berpotensi menciptakan Krisis Ketatanegaraan.
sikap penolakan tersebut, disampaikan Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat.
dalam Pernyataan Sikap DPP Partai NasDem yang diterima Kupang Times, Selasa, (01/07/25), disebutkan bahwa; pemisahan Pemilu Presiden, DPR, DPD, Kepala Daerah dan DPRD yang dilakukan MK lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945.
oleh karena itu, NasDem melihat bahwa; Putusan MK tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional.
”perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu,
Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda."|Lestari, Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR-RI.
Pada Kamis, (26/06/25), MK melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa; pemilu nasional dan lokal digelar terpisah mulai 2029.
Pemilu Nasional untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, dan DPD akan dilaksanakan terlebih dahulu.
setelah jeda sekitar dua hingga dua setengah tahun, baru dilanjutkan dengan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota.
lebih lanjut menurut Lestari, pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional, bahkan kebuntuan /atau deadlock constitutional.
sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.
Pihaknya mencontohkan, Pasal 22E UUD 1945 telah menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Kemudian, pemilu diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.
dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu, maka terjadi pelanggaran konstitusional.
Jika dilakukan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun, bagi NasDem, hal itu akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis.
Padahal, jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana pasal 22E UUD 1945.
”artinya; berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional."|Lestari
Lestari, mengatakan, dengan putusan itu, MK justru memasuki dan mengambil kewenangan legislatif, yang merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah.
Partai NasDem, memandang, MK justru telah menjadi negative legislative /atau bertindak sebagai pembatal Undang-Undang yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi.
”MK melanggar prinsip kepastian hukum, yakni; prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten,
dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum."|Lestari
Lestari, mengatakan, untuk itu, NasDem, mendorong, krisis ketatanegaraan ini harus dicarikan jalan keluarnya.
semua harus kembali kepada ketaatan konstitusi.
Pilihan sistem penyelenggaraan pemilu harus kembali menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
tidak hanya itu, NasDem mendesak DPR-RI untuk meminta penjelasan MK.
DPR-RI juga diminta menertibkan cara MK memahami norma konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya.
Sinyal DPR-RI menolak,
sementara itu, hingga kini, DPR-RI belum mengambil sikap, terkait putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal.
meski demikian, dari hasil rapat pimpinan DPR-RI bersama pimpinan sejumlah alat kelengkapan DPR (AKD) dan menteri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, (30/06/25), terlihat gelagat penolakan serupa dari DPR-RI.
Ketua Komisi II DPR-RI, Rifqinizamy Karsayuda, seusai rapat, mengatakan, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal menimbulkan sejumlah persoalan yuridis yang serius.
selain berpotensi melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, putusan tersebut juga dinilai kontradiktif dengan putusan MK sebelumnya.
”dari kajian sementara kami, paling tidak ada beberapa persoalan yuridis yang sangat serius,
Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi itu mendahului pembentuk UUD, padahal UUD menyebutkan bahwa; kepala daerah dipilih secara demokratis,
Makna demokratis bisa berarti langsung /atau tidak langsung,
Namun, MK menyimpulkan harus dipilih melalui pemilu, artinya langsung.”|Rifqinizamy (Ketua Komisi II DPR-RI)
Rifqinizamy, mengingatkan, pada 2019, MK pernah menerbitkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan 6 (enam) opsi model keserentakan pemilu dan menyerahkan pilihan tersebut kepada pembentuk Undang-Undang melalui kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Namun, dalam putusan terbarunya, MK justru menetapkan sendiri salah satu dari 6 (enam) model tersebut.
”Jadi, kalau dibandingkan dengan putusan MK sebelumnya, ini terkesan kontradiktif,
dulu kami diberi ruang untuk memilih,
Sekarang MK yang menetapkan sendiri,
Padahal, Pemilu 2029 masih lama dan kami sedang menyiapkan revisi undang-undangnya.”|Rifqinizamy (Ketua Komisi II DPR-RI)
Politikus Partai NasDem itu, mengatakan, hal lain, yang juga disoroti DPR adalah soal masa jabatan dan periodisasi pemilu. Jika pemilu DPRD digelar dua tahun setelah pemilu DPR.
ada potensi pelanggaran Pasal 22E UUD 1945 yang menyebutkan; pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR dan DPRD secara bersamaan.
”Kalau pemilu DPRD dilaksanakan tidak lima tahun sekali, khusus tahun 2029 ke 2031 ini misalnya, kan bisa menimbulkan tafsir bahwa kita melanggar konstitusi,
Jadi, izinkan kami mendalami ini serius.”|Rifqinizamy (Ketua Komisi II DPR-RI)
Wakil Ketua Komisi II DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf, mengatakan, putusan MK mengenai pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah akan berdampak luas terhadap sejumlah undang-undang.
Karena itu, Komisi II bersama AKD lainnya sepakat untuk terlebih dahulu menyusun kajian akademik sebelum mengambil sikap.
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Hukum, Politik,
| Penulis: W.J.B
| Sumber: DPP Partai NasDem, Komisi II DPR-RI,
| Penerbit: Kupang TIMES