'dari KRITIK Ke PENJARA,' Mentan RI, Amran Sulaiman: "ada Pengamat dari Kampus Ternama SEGERA Dipenjarakan."

Edisi: 1.129
Halaman 2
Integritas |Independen |Kredibel

      Potret: KT|Properti

KUPANG TIMES - dalam pidato resmi di Universitas Sebelas Maret, Menteri Pertanian RI, Amran Sulaiman, melemparkan pernyataan yang menyentak nalar publik: "ada seorang pengamat pertanian yang disebutnya sebagai 'musuh negara' dan akan segera dipenjara, 

dan Berkasnya, sudah dikirim ke Aparat Penegak Hukum."

tanpa menyebut nama, Amran, mengatakan, sosok tersebut berasal dari kampus ternama dan pernah menerima proyek Kementerian yang diduga fiktif.

Pernyataan Menteri Pertanian RI, Amran Sulaiman, sontak viral di sejumlah platform media sosial. 

sekali lagi, ucapan tersebut disampaikan Amran, saat dirinya berpidato dalam acara Dies Natalis Ke-49 Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa, (11/03/25) lalu. 

di platform media sosial X (dulu Twitter), cuplikan video pidato Amran di antaranya diunggah oleh @tham878: "Mentan Amran: ada pengamat musuh negara.. kemungkinan besar sebentar lagi dipenjara."|cuit akun tersebut, Rabu, (23/03/25). 

lalu, seperti apa pernyataan Amran Sulaiman, 

dalam pidato di acara Sidang Terbuka Senat Akademik Dies Natalis Ke-49 Universitas Sebelas Maret, yang diunggah di kanal YouTube Universitas Sebelas Maret (UNS) pada Rabu, 12 Maret 2025, Amran mula-mula memamerkan capaian program cetak sawah rakyat di Merauke, Papua Selatan.

Amran, menceritakan, percakapan antara dirinya dan Presiden RI, Prabowo Subianto, saat Kepala Negara berkunjung ke Merauke pada Minggu, (03/11/24) lalu. 

di Merauke, Presiden RI, Prabowo, melihat program yang sebelumnya lebih dikenal sebagai lumbung pangan /atau food estate itu tumbuh, berbeda dengan keraguan sejumlah kalangan.

Amran, mengatakan, mereka yang meragukan cetak sawah hanya mementingkan uang dan bisa jadi merupakan importir yang tidak ingin Indonesia swasembada.

adapun food estate di Kalimantan Tengah, berupa; pembangunan sawah akhirnya mangkrak selama puluhan tahun terjadi, karena egosektoral. 

akibatnya, yang terbangun hanya jaringan irigasi.

Amran, mengklaim, langsung menggarap proyek cetak sawah dan tumbuh. 

Amran, langsung membidik 3 Juta Hektare tercetak selama tiga tahun, asal tidak dihalang-halangi, misal oleh; pengamat.

"Maaf karena ada juga pengamat ternyata adalah musuh negara.?

sebentar lagi.. maaf Pak Rektor dan Guru Besar, tapi sebentar lagi kemungkinan besar dipenjara,

dia bagian dari masalah di republik ini."|Amran (Mentan RI) dilansir dari channel YouTube Universitas Sebelas Maret pada Selasa, (15/04/25). 

Amran tidak menyebut secara spesifik, siapa pengamat yang dimaksud. 

Amran, mengatakan, pengamat tersebut berasal dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.

Namun, Amran memastikan akademisi tersebut, tidak berasal dari UNS. 

Amran, berkelakar, seandainya pengamat itu dari UNS, dirinya  pasti akan menolak penghargaan dari kampus di Surakarta itu.

"Kami dinego banyak orang, ‘Pak Menteri bisalah’ Enggak.. Negara yang meminta, rakyat yang meminta, bukan Amran yang meminta,

Kami kirim berkasnya ke Penegak Hukum,

mungkin sebentar lagi dia dipenjara,

Pengamat terkenal dan kalau saya sebut namanya Bapak pasti tahu, 

Tunggu Bapak Ibu, berdo'a saja, mudah-mudahan ia pindah alam."|Amran (Mentan RI)

Pernyataan Amran tersebut di atas, bukan hanya mencengangkan, tetapi juga membahayakan. 

Bahaya PERTAMA • pergeseran makna “musuh negara” dari istilah politis-ideologis menjadi alat stigmatisasi terhadap kritik.

Bahaya KEDUA • kekuasaan eksekutif mengambil alih peran aparat penegak hukum dengan menjustifikasi kemungkinan vonis di muka umum.

Bahaya KETIGA • dan paling serius adalah ancaman terhadap ruang akademik, kebebasan berpendapat, dan partisipasi sipil. 

dalam Negara Hukum, Kritik adalah bagian dari Demokrasi. 

Pengamat dan akademisi—apapun pandangannya—memiliki hak yang dilindungi konstitusi untuk mengawasi, mengevaluasi, bahkan menolak kebijakan publik. 

maka, ketika seorang menteri mengasosiasikan kritik dengan kriminal, ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip dasar demokrasi.

mari kita telaah pernyataan Menteri Amran secara lebih teliti. 

Amran, mengatakan bahwa; pengamat tersebut pernah menerima proyek dari Kementerian Pertanian—diduga fiktif—dan kini berbalik mengkritisi kebijakan. 

Amran kemudian menyebut pengamat tersebut sebagai “musuh negara,” seolah-olah kritik itu bukan karena integritas, melainkan karena kepentingan yang terganggu. 

Namun, masalahnya, alih-alih menyerahkan kasus itu ke aparat penegak hukum untuk bekerja dalam diam dan objektif, pernyataan tersebut, justru dibuka ke publik secara insinuatif. 

apakah ini bentuk pelaporan.? ataukah intimidasi.? ataukah ini pesan peringatan bagi pengamat dan akademisi lain, agar menjaga lidah mereka tetap jinak.?

dalam Sejarah Hukum Indonesia, kita telah berkali-kali melihat bagaimana pembungkaman kritik dilakukan melalui pembingkaian Hukum. 

Pasal Karet, seperti; pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga pasal perbuatan tidak menyenangkan, digunakan untuk menjerat mereka yang berbeda pendapat. 

Kini, tambah lagi satu ancaman: 'proyek masa lalu yang diseret ke ranah pidana dengan narasi politis.'

Kita tentu tidak membela penyalahgunaan dana. 

Jika ada akademisi /atau pengamat yang terbukti korup, maka silakan proses.  

Namun, yang menjadi soal adalah ketika proses tersebut tidak ditempuh secara Hukum yang senyap, netral, dan patuh azas, melainkan dipublikasikan secara insinuatif untuk menimbulkan efek jera terhadap kritik.

Kritik terhadap kebijakan pertanian memang tajam akhir-akhir ini. 

Publik mempertanyakan kelangkaan pupuk, penyaluran bantuan alat pertanian, ketahanan pangan yang tidak kunjung stabil, hingga proyek lumbung pangan yang tak menunjukkan hasil nyata.

Kritik juga diarahkan terhadap kinerja Kementerian Pertanian dalam era Amran jilid dua ini, yang dituding terlalu fokus pada proyek ketimbang pembenahan sistem distribusi dan produksi pangan.

apakah kritik-kritik ini salah.? Tidak.. sebab justru dari sinilah demokrasi tumbuh. 

Negara maju hari ini bukan karena pemerintahnya selalu benar, melainkan karena Pemerintah terbiasa dikoreksi.

sebaliknya, Negara yang menakuti kritik adalah Negara yang tidak ingin maju. 

Negara memilih membungkam suara ketimbang membenahi akar masalah. 

maka, ancaman seperti ini hanya menegaskan satu hal: 'menteri lebih takut pada kritik dari pada pada korupsi.'

apa yang lebih menyedihkan adalah ini bukan kali pertama seorang pejabat publik menggunakan pendekatan “nama tidak disebut, tapi sudah divonis.” 

Ini pola klasik kriminalisasi gaya baru. 

tidak langsung membawa ke meja hijau, tapi pertama-tama dibawa ke ruang publik. 

Nama tidak disebut, tapi sinyal dikirim ke publik, supaya publik menduga-duga. 

lalu lahirlah trial by insinuation—pengadilan lewat bisik-bisik dan narasi insinuatif.

dan ketika nama akhirnya muncul, publik sudah kadung menyimpulkan bahwa; ia bersalah. Padahal, hukum belum bekerja. 

Proses belum dimulai, dan asas praduga tidak bersalah telah dipangkas di mulut Pejabat Negara.

apakah ini kebetulan.? Tidak.. Ini adalah cara kekuasaan bekerja dalam rezim populisme birokratik: 'ketika kritik membanjiri institusi, bukan perbaikan yang dilakukan, tetapi ancaman dibalas dengan tuduhan.'

akhirnya, ruang publik dibungkam, bukan dengan senjata, tetapi dengan stigma. 

LBH Jakarta dan sejumlah pengamat kebebasan sipil menyebut ini sebagai bentuk kriminalisasi. 

Mereka mengingatkan bahwa; ruang akademik bukan ruang netral yang bisa direpresi sesuka hati.

Jika pengamat /atau dosen tidak boleh bersuara hanya karena pernah terlibat proyek, maka independensi akademik akan hancur. 

sebab hampir semua kampus hari ini hidup dari relasi dengan negara. 

dan jika semua itu menjadi alat balas dendam, maka setiap dosen akan diam dalam ketakutan. 

yang lebih menakutkan dari ketidakadilan adalah ketika ketakutan menjadi budaya, dan itu sedang terjadi. 

Ruang kampus mulai senyap, Kritik mulai dihapus dari buku-buku evaluasi, seminar mulai dibatalkan karena topik dianggap sensitif. 

Semua demi menjaga “hubungan baik” dengan pemegang anggaran. 

maka, siapa yang masih berani bicara, akan disebut “musuh negara.” 

Padahal, justru dari merekalah Negara bisa diselamatkan.

Mohammad Hatta mungkin tidak pernah secara eksplisit berkata, “Kritik adalah tanda cinta.” 

Namun, seluruh jalan hidup dan gagasan politiknya mencerminkan semangat itu. 

dalam tulisan legendarisnya, 'Demokrasi Kita,' Bung Hatta mengingatkan bahwa; "kekuasaan yang tidak mau dikoreksi akan cenderung menyimpang, dan negara yang membungkam suara rakyatnya sedang menggali liang kehancurannya sendiri."

maka, kritik terhadap pemerintah sejatinya adalah bentuk kasih sayang terhadap republik. 

Sebab hanya warga negara yang peduli, yang berani berkata tidak. 

Ketika kritik dijawab dengan ancaman pidana, ketika suara akal sehat dibalas dengan stempel “musuh negara,” maka cinta itu berubah menjadi luka. 

Demokrasi kehilangan roh-nya, Kekuasaan kehilangan Nurani-nya.

seorang Menteri tidak seharusnya merasa terguncang oleh kritik, sebab kritik bukan ancaman, Kritik adalah vitamin demokrasi. 

Menteri seharusnya bekerja menjawab masalah, bukan menyerang pemberi kabar.

Karena ketika pengamat dikriminalisasi, akademisi dibungkam, dan pengkritik dituduh korup, maka yang sebenarnya dipertanyakan bukan mereka, melainkan legitimasi kekuasaan itu sendiri.

dan kepada Menteri Amran, izinkan publik mengingatkan: 'jabatan adalah amanah, bukan alat membalas kritik.'

Kompas itu tidak pernah jadi musuh kapal, Kecuali sang nahkoda tidak tahu arah, dan takut pelayaran dinilai sesat.

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Politik, Sosial, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: Kementan RI, Channel YouTube Univ. Sebelas Maret, 

| Penerbit: Kupang TIMES

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®