Edisi: 1.261
Halaman 4
Integritas |Independen |Kredibel
Abstrak,
Pancasila ditetapkan sebagai Dasar Negara Indonesia pada 18 Agustus 1945.
Namun, dalam perkembangan wacana politik dan pendidikan nasional, Pancasila sering direduksi sebagai “ideologi negara."
Artikel ini mengajukan kritik akademis terhadap penyempitan makna tersebut dan menegaskan secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis, Pancasila lebih tepat dipahami sebagai falsafah dasar bangsa, bukan ideologi dalam pengertian politis.
Argumen dibangun melalui pendekatan filsafat politik, teori nilai, dan kajian sejarah pemikiran Pancasila.
Hasil analisis menunjukkan, Pancasila memiliki kedudukan filosofis yang tidak dapat direduksi hanya sebagai ideologi, karena sifatnya yang universal, reflektif, dan inklusif, berbeda dari ideologi yang bersifat instrumental dan operasional.
dengan demikian, penyebutan ideologi bagi Pancasila selayaknya ditempatkan hanya sebagai fungsi aplikatif, bukan identitas hakiki.
Pendahuluan,
sejak ditetapkan sebagai dasar negara, Pancasila memegang kedudukan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Namun, wacana tentang status epistemologis Pancasila tidak pernah selesai.
terdapat 2 (dua) pandangan dominan dalam literatur akademis, antara lain:
Pandangan PERTAMA, menyatakan, Pancasila adalah falsafah dasar (philosophische grondslag), sebagaimana ditegaskan para tokoh perumus, Ir. Soekarno, Soepomo, dan Mohammad Yamin.
Pandangan KEDUA, melihat Pancasila sebagai Ideologi Negara, terutama berkembang pada masa Orde Baru, ketika negara membutuhkan legitimasi politis untuk mobilisasi dan stabilisasi pemerintahan.
Kedua pandangan tersebut, tidak sepenuhnya bertentangan.
namun, sering kali dipahami secara keliru, sehingga menimbulkan reduksi makna.
Artikel ini mengambil posisi, kedudukan utama Pancasila adalah sebagai falsafah, sedangkan konsep ideologi hanyalah fungsi turunannya.
dengan menempatkan Pancasila sebagai falsafah, kita memberikan ruang bagi nilai-nilai yang universal, multidimensional, dan berakar pada realitas sosial budaya bangsa, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui konsep ideologi yang sifatnya operasional dan politis.
Isi,
I. Dasar Negara dalam Perspektif Filsafat Politik,
dalam kerangka filsafat politik klasik dan modern, dasar negara atau grundnorm merupakan prinsip moral dan filosofis yang berada pada tingkatan tertinggi dalam hierarki norma.
Hans Kelsen menegaskan dalam tulisannya: 'Pure Theory of Law.' bahwa; dasar negara adalah sumber dari seluruh norma hukum, bukan norma instrumental.
Aristoteles dalam tulisannya: 'Politica.' dasar negara sebagai tujuan etis yang mendasari kehidupan polis.
dari dua rujukan tersebut terlihat jelas bahwa; dasar negara lebih memiliki dimensi falsafah dari pada ideologi.
Dasar Negara adalah sesuatu yang:
1. Mendahului Struktur Politik dan Hukum,
2. Menjadi Landasan Pembenaran Moral bagi Keberadaan Negara,
3. Bersifat Universal dalam Makna dan Nilai,
4. Tidak Terkekang oleh Kepentingan Kekuasaan atau Rezim.
dalam konteks ini, Pancasila memenuhi seluruh kriteria tersebut.
Pancasila bukan hanya kumpulan prinsip politik, tetapi nilai dasar yang membentuk identitas dan jati diri bangsa Indonesia.
dengan demikian, menyebut Pancasila sebagai ideologi tanpa kedalaman filosofis, berisiko mengaburkan kedudukan ontologisnya sebagai dasar negara.
II. Pancasila sebagai Falsafah Dasar Bangsa,
para ahli filsafat Pancasila, seperti: Notonagoro, Kaelan, Yudi Latif, dan R. Soepomo sepakat bahwa; Pancasila tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka ideologi politik.
Pancasila memiliki kedudukan sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, yang mencerminkan nilai-nilai fundamental yang telah tumbuh dalam kebudayaan Nusantara.
2.1. Dimensi Ontologis,
secara ontologis, Pancasila bersumber dari realitas antropologis bangsa Indonesia yang bersifat religius, kolektif, dan gotong-royong.
Nilai-nilai tersebut, bukan hasil konstruksi abstrak atau impor ideologis dari Barat atau Timur, tetapi merupakan nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad.
Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial bukanlah ide yang diciptakan, tetapi refleksi dari kenyataan hidup bangsa.
dengan demikian, Pancasila bersifat ontologis karena memuat pemahaman tentang hakikat manusia dan hakikat hidup dalam konteks keindonesiaan.
2.2. Dimensi Epistemologis,
secara epistemologis, Pancasila diperoleh melalui proses reflektif, dialog, perumusan historis, dan bukan dari sistem doktrinal yang tertutup.
Ideologi pada umumnya memiliki basis epistemik yang dogmatis.
sementara Pancasila bersifat terbuka (open philosophical system).
menurut Kaelan, Pancasila memiliki sifat epistemologis, antara lain:
• Rasional,
• Reflektif,
• Dialogis dan
• Inklusif.
Hal ini menunjukkan bahwa; Pancasila bersifat filosofis, bukan ideologis dalam arti sempit.
2.3. Dimensi Aksiologis,
secara aksiologis, nilai-nilai Pancasila merupakan pedoman moral yang mengikat seluruh masyarakat Indonesia, lintas budaya, agama, dan golongan.
Nilai-nilai tersebut bersifat universal dan tidak terikat pada satu aliran politik.
Sifat ini berbeda dari ideologi yang biasanya berfungsi dalam konteks kepentingan kelompok atau kekuasaan.
dengan demikian, secara aksiologis Pancasila memberikan kerangka etis, bukan doktrin politis.
III. Ideologi sebagai Fungsi Aplikatif Pancasila,
dalam ilmu politik, ideologi diartikan sebagai seperangkat gagasan yang bertujuan mengarahkan tindakan politik, memobilisasi dukungan, dan memberikan kerangka operasional dalam menjalankan kekuasaan.
Ideologi bersifat instrumental, berorientasi pada tujuan, dan cenderung digunakan oleh rezim atau aktor politik.
Ciri-ciri Ideologi, antara lain:
1. Bersifat sistematis dan operasional,
2. Digunakan untuk mobilisasi politik,
3. Memiliki tujuan praktis,
4. Bersifat lebih sempit dibanding falsafah.
dalam konteks Indonesia, Pancasila digunakan sebagai ideologi negara untuk memberikan orientasi politik dan arah pembangunan.
Namun, hal ini merupakan fungsi, bukan hakikat Pancasila.
Notonagoro menyebut hal ini sebagai “ideologi terbuka”: ideologi yang bersumber dari falsafah dasar, bukan sistem dogmatis.
oleh sebab itu, ketika Pancasila disebut ideologi, penyebutan tersebut harus dipahami dalam konteks fungsional, bukan ontologis.
IV. Penolakan Akademis terhadap Reduksi Pancasila sebagai Ideologi,
terdapat sejumlah alasan akademis mengapa sebagian sarjana menolak menjadikan konsep ideologi sebagai identitas utama Pancasila.
4.1. Ideologi bersifat Politis dan Instrumental,
Ideologi sering digunakan sebagai alat legitimasi politik, sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.
Penggunaan istilah “ideologi” membuat Pancasila rentan ditafsirkan secara sempit dan dimonopoli oleh negara.
4.2. Ideologi cenderung Homogen dan Eksklusif,
sebagian ideologi menghendaki keseragaman pandangan.
Namun, Indonesia adalah negara yang sangat plural.
Pancasila justru hadir untuk memayungi keberagaman, bukan menyeragamkan nilai.
4.3. Penyebutan ideologi merendahkan kedudukan filosofis Pancasila,
Jika Pancasila disamakan dengan ideologi politik, maka kedudukannya sebagai grundnorm akan melemah, karena ideologi tidak dapat menjadi sumber dari segala sumber hukum.
4.4. Ideologi menekankan tujuan praktis, sedangkan Pancasila menekankan nilai moral,
Pancasila memiliki orientasi normatif dan moral yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan tujuan politis.
atas dasar tersebut, penyebutan Pancasila sebagai ideologi sebaiknya ditempatkan secara proporsional: Pancasila adalah falsafah secara hakikat, dan ideologi secara fungsi.
Kesimpulan,
dari analisis konseptual, historis, dan filosofis, dapat disimpulkan bahwa:
1. Secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis, Pancasila adalah falsafah dasar bangsa Indonesia.
2. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara menuntut pemahaman filosofis yang mendalam, bukan pengertian sempit sebagai ideologi politik.
3. Penyebutan Pancasila sebagai ideologi hanya relevan dalam konteks fungsional, yaitu ketika nilai-nilai Pancasila dioperasionalkan dalam kebijakan negara.
4. oleh karena itu, menempatkan Pancasila sebagai falsafah lebih tepat secara ilmiah, sedangkan ideologi adalah manifestasi praktis dari nilai falsafah tersebut.
dengan memahami hal ini, kita terhindar dari reduksi makna yang mengerdilkan Pancasila dan dapat memulihkannya ke kedudukan filosofis yang semestinya: sebagai philosophische grondslag, jiwa dan sumber nilai bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka,
Buku dan Jurnal:
Kaelan (2016) • Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Lattif, Yudi (2011) • Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Notonagoro (1975) • Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.
Ir. Soekarno (2001) • Lahirnya Pancasila (Pidato 1 Juni 1945). Jakarta: BPIP.
Soepomo (1945) • Pidato tentang Dasar Negara dalam Sidang BPUPKI. Arsip Nasional Republik Indonesia.
Kaelan & Ahmad, Zubaidi. (2007). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Bakker, Anton (1995) • Filsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Kelsen, Hans (1970) • The Pure Theory of Law. Berkeley: University of California Press.
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Sejarah, Pendidikan,
| Penulis: Muzes Mecky Widson Panie
| Editor: W.J.B
| Sumber: Muzes Mecky Widson Panie, berbagai sumber,
| Penerbit: Kupang TIMES
