Keracunan MBG terus BERULANG: 'tiba saatnya Dapur KEMBALI Ke Sekolah.!'

Edisi: 1.156
Halaman 1
Integritas |Independen |Kredibel

      Potret: KT|Properti

KUPANG TIMES - berita keracunan makanan yang dialami siswa sekolah dasar akibat program Makanan Bergizi Gratis (MBG) terus berulang. 

Keracunan MBG bukan sekadar Insiden, melainkan Tragedi Ironis yang terus menghantui Orang Tua, Sekolah dan Siswa. 

Program yang seharusnya menjadi solusi untuk meningkatkan gizi dan kecerdasan anak bangsa, justru berubah menjadi "bom waktu" yang membahayakan kesehatan dan nyawa siswa.

setiap kali kasus ini mencuat, Kita sibuk mencari kambing hitam di hilir: penyedia katering, petugas distribusi /atau bahkan pihak sekolah. 

Padahal, akar masalah sesungguhnya terletak pada kelemahan sistemik di hulu, yaitu; model penyediaan makanan yang terpusat dan berisiko tinggi.

Investigasi, 

mari kita bedah, alur sistem yang berjalan sekarang.

untuk melayani ribuan siswa, makanan mulai disiapkan di dapur umum raksasa sejak pukul 11:00 pm (malam). 

Proses memasak dalam jumlah masif, dilakukan pada pukul 04:00 am (pagi), lalu didistribusikan pukul 07:00 am (pagi) untuk tiba di berbagai sekolah. 

Siswa baru menyantap MBG tersebut di jam makan siang, yakni; pukul 12:00 pm (siang) 

Ada jeda waktu lebih dari 8 (delapan) Jam, antara proses memasak dan konsumsi. 

secara ilmu pangan dan kesehatan, jeda waktu sepanjang ini adalah "karpet merah" bagi pertumbuhan bakteri dan kuman, seperti; E-Coli /atau Staphylococcus Aureus. 

Se-”lezat” dan se-”bergizi” apapun menunya, makanan yang melalui proses tunggu dan distribusi yang panjang sangat rentan terhadap kontaminasi. 

inilah resep pasti menuju bencana keracunan makanan. 

Desentralisasi dan Partisipasi, 

Pemerintah harus berani mengakui bahwa; model sentralisasi ini telah gagal. 

solusinya bukan menambal sulam pengawasan, melainkan mengubah paradigma secara total. 

sudah saatnya kita melakukan desentralisasi penyediaan MBG dengan mengembalikan dapur ke sekolah dan melibatkan komunitas secara aktif. 

bayangkan model di mana setiap sekolah memiliki dapurnya sendiri yang dikelola bersama Komite Sekolah. 

makanan dimasak beberapa saat sebelum jam makan siang, memastikan setiap anak menerima santapan yang segar, hangat dan aman. 

model desentralisasi tersebut, menawarkan banyak keunggulan. 

Pertama • Jaminan Keamanan dan Kesegaran Pangan. 

KEDUA • Pengawasan Langsung dari Orang Tua.

melalui Komite Sekolah, para orang tua bisa ikut serta mengawasi pemilihan bahan baku, kebersihan dapur, hingga proses memasak.

Naluri orang tua untuk melindungi anaknya adalah sistem kontrol kualitas terbaik. 

KETIGA • model tersebut, menghidupkan kembali semangat gotong royong dan rasa memiliki komunitas sekolah terhadap program. 

Hampir bisa dipastikan orang tua tidak akan keberatan untuk ikut urunan dalam menyediakan makanan berkualitas bagi anak-anaknya. 

Desentralisasi bukan berarti pemerintah pusat dan daerah lepas tangan. 

Justru, peran mereka berubah menjadi fasilitator dan pengawas kualitas. 

di sinilah Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Dinas Kesehatan memegang peranan krusial.

Badan Gizi Nasional menetapkan standar higienitas dan sanitasi untuk setiap dapur sekolah. 

Dinas Kesehatan melalui Puskesmas setempat memberikan pelatihan kepada para juru masak (yang bisa direkrut dari lingkungan orang tua murid) dan melakukan inspeksi rutin secara berkala.

sinergi antara partisipasi komunitas dan pengawasan profesional dari Pemda akan menciptakan ekosistem penyediaan makanan yang kokoh dan aman. 

Belajar dari Praktik Dapur Umum Terbaik Dunia, 

Model Dapur Sekolah bukanlah Utopia. 

Banyak Negara telah berhasil menerapkannya. 

Jepang, dengan Konsep Shokuiku (Pendidikan Pangan), menjadikan makan siang sebagai bagian dari Kurikulum. 

siswa ikut membantu menyiapkan dan menyajikan makanan yang dimasak di dapur sekolah, menanamkan nilai gizi, kebersihan dan kerja sama. 

di Brasil, program makan siang sekolah PNAE mewajibkan 30% bahan bakunya dibeli dari petani keluarga lokal. 

ini tidak hanya menjamin pasokan bahan pangan segar, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal.

begitu pula di Finlandia, negara pertama di dunia yang menyediakan makan siang gratis sejak 1948, setiap sekolah memiliki dapurnya sendiri dengan standar nutrisi yang diawasi ketat. 

Negara-Negara tersebut, membuktikan bahwa; dapur di sekolah bukan hanya tempat memasak, tetapi pusat edukasi, pemberdayaan komunitas dan penggerak ekonomi lokal.

Perubahan Sistem membutuhkan Kemauan Politik. 

Jika pemerintah masih ragu untuk beralih ke model desentralisasi, ada satu langkah minimum yang tidak bisa ditawar lagi: libatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara penuh dari hulu ke hilir. 

BPOM harus memiliki otoritas penuh, untuk mengawasi setiap rantai pasok dalam sistem terpusat saat ini, mulai dari; vendor bahan baku, proses di dapur umum, hingga uji sampel acak di sekolah sebelum makanan disantap.

hal ini sudah sering disuarakan di Komisi IX DPR-RI, tapi implementasinya masih jauh dari harapan. 

pada akhirnya, ini adalah pilihan antara mempertahankan sistem yang nyaman bagi birokrasi, tapi berisiko bagi anak /atau beralih ke sistem partisipatif yang mungkin lebih kompleks di awal, namun jauh lebih aman dan memberdayakan. 

bagi Kita, jawabannya seharusnya sudah Jelas: 'Nyawa dan kesehatan anak-anak Kita tidak layak untuk dipertaruhkan.'

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Pendidikan, Kesehatan, Pangan, Politik, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: berbagai sumber, 

| Penerbit: Kupang TIMES

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®