Edisi: 1.140
Halaman 3
Integritas |Independen |Kredibel
KUPANG TIMES - Pembebanan Biaya Royalti Musik secara langsung kepada Konsumen menimbulkan beberapa masalah bagi Perempuan.
Apa saja Masalahnya.?
Pengasuh Klinik Hukum Perempuan menerima surat dari seorang perempuan yang ingin dipanggil Sarah.
Ia menanyakan tentang Royalti Musik yang dibebankan kepada pelanggan.. bagaimana aturan dan hukumnya.?
Berikut, ini surat Sarah:
"di media sosial, sedang ramai diperbincangkan soal pungutan royalti musik di restoran yang dibebankan kepada pelanggan.
saya sebagai pelanggan tentu bingung dengan pungutan itu.
sebab, saya datang ke restoran untuk makan, bukan mendengarkan alunan musik.
lalu, mengapa konsumen dibebankan pembayaran royalti musik.?
beban biaya yang dikenakan kepada pelanggan restoran itu tentu memberatkan.
apalagi saya seorang ibu rumah tangga yang berkepentingan mengatur keuangan keluarga.
adapun yang ingin saya tanyakan, bagaimana sebenarnya aturan tentang royalti musik.?
Apakah aturan tentang royalti juga memperhatikan kepentingan kaum perempuan.?
Tutut Tarida, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, memberikan jawaban atas pertanyaan Sarah:
Halo, Sarah. Terima kasih atas pertanyaannya.. Kebingungan Anda sangat wajar.!
banyak orang heran dan terbebani dengan adanya isu biaya royalti musik yang dikenakan kepada konsumen secara langsung.
Apalagi untuk perempuan yang bertanggung jawab mengelola keuangan rumah tangga, tambahan biaya sekecil apa pun pasti berdampak pada pengeluaran harian.
saat ini masyarakat tengah dalam perdebatan soal royalti, dari pemberitaan tentang sejumlah penyanyi digugat oleh: pencipta lagu/komposer, restoran besar digugat, karena memutar lagu di restoran tanpa membayar royalti, manajemen hotel disurati lembaga manajemen kolektif (LMK), karena dianggap memutar instrumen suara burung, hingga konsumen mendapat tagihan royalti musik dan lagu dalam nota pembayaran.
Dasar Hukum Royalti Musik di Indonesia,
Royalti musik diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tujuannya, memberikan imbalan yang adil kepada pencipta lagu dan musikus atas karya yang mereka ciptakan.
Berikut, istilah yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Hak Cipta, antara lain:
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.
Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan /atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.
Hak Ekonomi adalah hak eksklusif pencipta /atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya.
Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran.
Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan /atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta /atau pemilik hak terkait.
Penggunaan secara Komersial adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.
LMK adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta dan /atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun serta mendistribusikan royalti.
Bagaimana Cara Mendapatkan Hak Ekonomi.?
Untuk mendapatkan hak ekonomi, setiap pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait bergabung dalam LMK.
melalui LMK, mereka dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dan hak terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
Pengguna hak cipta dan hak terkait yang memanfaatkan ciptaan wajib membayar royalti kepada LMK.
Pengguna membuat perjanjian dengan LMK untuk membayar royalti atas hak cipta dan hak terkait yang digunakan.
Pengelolaan Royalti Hak Cipta,
Untuk pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik, dibentuk dua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang masing-masing merepresentasikan kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait.
Kedua lembaga manajemen itu memiliki kewenangan menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna yang bersifat komersial.
dan Kedua lembaga manajemen itu wajib berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti yang menjadi hak setiap LMK dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.
Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran royalti ditetapkan oleh LMK yang disahkan oleh menteri (Pasal 89 Undang-Undang Hak Cipta).
Polemik Royalti Musik,
Sejumlah musikus Indonesia mengajukan gugatan uji materiil Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ini berawal dari banyaknya musikus yang digugat oleh pencipta lagu /komposer, karena dinilai tidak membayar royalti atas lagu yang dinyanyikan secara komersial.
“Komersial” menjadi kata yang penting dalam urusan royalti berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta.
Para musikus yang juga pemohon menyebutkan hal yang diamanatkan dalam Undang-Undang Hak Cipta belum dapat terwujud karena masih banyak timbul polemik dan gejolak.
Khususnya dalam sistem perizinan dan royalti sebagai akibat inkonsistensi dalam pelaksanaan undang-undang dan/atau kekeliruan dalam penafsiran.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, mengatakan, bila mengikuti Undang-Undang Hak Cipta secara harfiah, orang yang paling kaya di Indonesia adalah W.R. Supratman.
sebab, lagu ciptaannya, Indonesia Raya, hampir setiap hari dinyanyikan di seluruh Indonesia.
Apalagi dalam Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus.
Indonesia berpegang pada ideologi gotong-royong sehingga karya seni yang diciptakan terdahulu memang diperuntukkan bagi masyarakat.
Arief, mengatakan, namun, dengan adanya gugatan semacam ini, akan menimbulkan pergeseran ideologi menjadi individualis kapitalis.
dalam ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yang kemudian ditegaskan lagi “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara."
tapi mari kita lihat perbedaannya.!
Sistem Ekonomi Sosialis,
1. Karya seni dianggap bagian dari kekayaan bersama untuk kepentingan rakyat.
2. Royalti tidak dibebankan langsung kepada masyarakat, tapi diatur negara untuk menjamin keadilan dan akses budaya yang merata.
3. Negara akan memastikan semua pihak, termasuk musikus dan pelanggan, terlindungi.
Sistem Ekonomi Kapitalis,
1. Setiap karya seni diperlakukan sebagai komoditas ekonomi.
2. Pemilik hak (pencipta lagu dan produser) berhak penuh menarik royalti dari siapa pun yang memanfaatkannya.
3. Pelanggan boleh dibebani secara langsung karena prinsipnya adalah “siapa menikmati, dia membayar”.
Sistem Ekonomi Pancasila,
1. Negara menyeimbangkan hak individu pencipta lagu dengan kepentingan umum masyarakat.
2. Royalti tetap dibayar, tapi tidak dibebankan langsung secara terpisah kepada konsumen karena tujuan pemutaran musik di restoran adalah bagian dari layanan usaha, bukan permintaan konsumen.
Pelanggan datang untuk makan, bukan menyewa lagu.
3. Royalti menjadi beban pengelola usaha yang sudah diperhitungkan dalam harga jual, tidak perlu ditagih secara eksplisit kepada konsumen.
Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila, meski dalam praktiknya terkadang unsur kapitalisme lebih dominan.
Indonesia mencoba menyeimbangkan keduanya lewat sistem ekonomi Pancasila, tapi implementasinya masih terus dikritik agar tetap mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Arah kebijakan royalti saat ini cenderung kapitalistap, jika kita menilai dari pembebanan royalti kepada konsumen.
Ini bertentangan dengan semangat ekonomi Pancasila yang seharusnya melindungi hak musikus secara adil, tapi tidak membebani rakyat sebagai konsumen secara langsung.
Tepatkah Royalti Musik dibebankan kepada Konsumen.?
Jawabannya Tegas: tidak tepat.! dalam pembahasan panjang tentang royalti musik dan lagu belakangan ini, prinsip kapitalis yang terlihat seolah-olah “siapa yang menggunakan musik dan lagu, dia yang membayar."
Padahal, dalam praktik royalti musik, yang membayar royalti adalah pihak yang menggunakan musik secara komersial.
Penyelenggara acara, seperti; konser musik /atau pengelola tempat usaha, seperti: kafe, restoran dan hotel yang memutar lagu serta musik untuk menarik pelanggan /konsumen adalah pengguna, sehingga, mereka wajib membayar royalti kepada pemegang hak cipta melalui LMK.
secara teknis, pengelola membayar royalti atas keuntungan yang diperoleh dari pendapatan mereka.
Royalti tidak dibebankan secara langsung kepada konsumen.
dalam praktik bisnis, biaya royalti seharusnya masuk harga tiket konser, harga makanan dan minuman /atau biaya layanan.
dengan demikian, secara tidak langsung konsumen ikut membayar, bukan pembebanan biaya royalti musik dan lagu secara terpisah.
Ini hal yang umum dilakukan, di banyak negara.
Lagu dan Musik yang diputar oleh: pengelola usaha adalah upaya menarik konsumen.
Patut juga diperhatikan bahwa; tarif royalti harus bertujuan menciptakan keadilan dan transparansi.
untuk usaha kecil, misalnya; tidak dibebankan royalti yang terlalu tinggi.
contoh lain; untuk acara konser besar, royalti juga disesuaikan dengan banyaknya pengunjung yang hadir.
Dampak Royalti Musik bagi Perempuan,
Isu tentang royalti musik ini memiliki dampak gender, terutama bagi perempuan, dalam peran mereka sebagai:
• Pengatur keuangan rumah tangga.
Biaya tambahan sekecil apa pun akan mempengaruhi alokasi anggaran belanja harian.
Jika setiap kali makan di luar dikenai biaya tambahan yang tidak jelas, ini akan menyulitkan perencanaan keuangan.
• Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Banyak perempuan mengelola usaha kuliner kecil.
Jika aturan royalti tidak transparan, mereka bisa kesulitan menentukan harga jual /atau terbebani oleh: biaya yang terlalu tinggi.
adapun pembebanan biaya royalti secara langsung kepada pelanggan juga menimbulkan beberapa masalah bagi perempuan, di antaranya:
• Tidak ada Transparansi, mereka dibebani biaya tambahan tanpa informasi yang jelas.
• Keterbatasan Akses, harga yang makin mahal bisa membuat perempuan dan keluarga lebih sulit mengakses tempat hiburan atau tempat makan.
Karena itu, kebijakan ini harus dievaluasi dengan sensitif gender untuk memastikan keadilan bagi semua pihak, baik pencipta lagu maupun konsumen.
Jika mendapati pengelola tempat usaha yang membebankan biaya royalti musik secara terpisah pada nota pembayaran, anda dapat melakukan beberapa hal, antara lain:
• Minta Penjelasan, tanyakan kepada pengelola tempat usaha dasar hukum /atau alasan mengapa biaya tersebut dibebankan secara terpisah.
• Periksa Transparansi, tanyakan apakah mereka memiliki perjanjian resmi dengan LMK terkait dengan pembayaran royalti.
• Laporkan Jika Merasa Dirugikan, anda dapat melaporkannya kepada Kementerian Hukum RI /atau LMK terkait.
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Hukum, Sosial, Bisnis,
| Penulis: W.J.B
| Sumber: TCO,
| Penerbit: Kupang TIMES