Edisi: 1.142
Halaman 1
Integritas |Independen |Kredibel
JAKARTA, KUPANG TIMES - Pati adalah Kita, Karena apa yang terjadi, dalam seminggu terakhir ini, di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, merupakan miniatur dari tekanan dari Penguasa kepada rakyat dan reaksi terhadap tekanan itu.
Pati adalah cerita tentang rakyat yang susah mendapat pekerjaan, tidak mendapat pendidikan yang murah dan berkualitas, serta pelayanan kesehatan yang minim.
Pati adalah Narasi tentang Pelayanan Publik yang Gagal disediakan Pemerintah dan Kenekatan Pemerintah yang meminta lebih banyak uang dari rakyatnya.
cerita dari Pati memperlihatkan Arogansi Pemimpin yang bukannya mendengar tuntutan rakyatnya, malah menantang dan membubarkan upaya protes rakyatnya.
Demontrasi Besar di Pati dipicu oleh: 'Kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 250%.'
Pajak memang Relasi paling Material antara Rakyat dan Negara.
Kalau Relasi Kekuasaan Negara terdengar dan terlihat abstrak, sedangkan Pajak bisa dijelaskan dengan Konkret.
pada masa lampau, raja-raja menarik Pajak untuk semacam uang Jasa Keamanan.
Raja dan aparatnya menjanjikan keamanan rakyatnya dari serangan musuh dan kenyamanan hidup bersama.
dengan cara berpikir yang sama, Negara Demokrasi memungut Pajak, dengan Imbal Balik Pelayanan Publik.
ada Kontrak Sosial yang dituliskan dalam Undang-Undang, karena Eksekutif bisa menarik Pajak hanya dengan persetujuan Legislatif sebagai Wakil Rakyat.
soalnya bukan sekadar Jumlah Uang, tetapi: 1]. apakah Pemerintah punya Justifikasi, untuk menentukan besar uang yang ditarik.? 2]. apakah alasan itu, lebih dulu dibicarakan dengan warga yang akan membayar.? 3]. apa yang Pemerintah lakukan dengan Uang itu.?
Apa Lacur, ketiganya tidak dilakukan oleh Pemimpin yang berpikir bahwa; dirinya adalah raja di masa lalu.
Pemimpin macam ini, merasa tidak perlu ada Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi.
karena Kekuasaan diberikan oleh dewa-dewi, bukannya berasal dari rakyat dan dipertanggung-jawabkan kepada rakyat.
mereka lupa /atau tidak ingin mengingat, bahwa; Kekuasaan dalam Demokrasi didapat dari rakyat, melalui; Pemilihan Umum.
Hasil Rekayasa,
masalahnya, hari-hari ini, di Negara Kita, Pemilihan Umum juga bisa hasil rekayasa.
Kalau bukan angka yang disulap, siapa yang dipilih juga disetir oleh tekanan /atau uang /atau Permainan narasi.
barangkali karena itu, banyak pemimpin yang berilusi tentang kekuasaan sebagai bangunan irasional, yaitu; yang tidak didasari pada moral dan tanggung jawabnya untuk rakyat.
bagi mereka, kekuasaan adalah cara untuk mendapat materi dan penghormatan, layaknya raja-raja di masa lalu.
Rakyat diminta patuh, tunduk dan mengirim upeti.
satu-satunya cara untuk membuyarkan ilusi demikian adalah warga yang mampu berpikir kritis dan mau turun ke jalan untuk menyuarakan apa yang salah.
tidak jadi soal, apabila dalam pemilihan umum beberapa bulan lalu, sebagian warga kadung memilih yang salah, karena tertipu janji kampanye politik.
Justru disinilah relasi berbasis elektoral semakin terlihat: 'yang tidak menjalankan janji kampanye politik harus mundur,
makin terlihat, pentingnya pemilihan langsung oleh rakyat.'
Rencana sebagian Politikus yang menginginkan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD seperti pada masa Orde Baru akan semakin menipiskan hubungan rakyat dengan pemimpinnya.
Bayangkan, apabila DPRD yang memilih Kepala Daerah, pemimpin dan calon pemimpin akan lebih sibuk melayani elit partai politik ketimbang melayani rakyat.
biaya pemilihan yang dianggap mahal tetap akan ada.
Bedanya, uang tidak mengalir kepada warga, tetapi ke partai politik.
di-titik ini, hanya ada satu jalan keluar: 'pemimpin harus tunduk pada kehendak rakyat.'
Kalaupun sekarang Pajak tidak jadi dinaikkan, pemimpin pongah tidak perlu terus dipertahankan.
ada dua cara yang mungkin dilakukan, PERTAMA • sesua Undang-Undang tentang pemerintah daerah, partai-partai di DPRD bisa menempuh jalan pemakzulan yang melibatkan keputusan politik di DPRD dan Putusan Mahkamah Agung.
KEDUA • Bupati bisa saja mundur karena tekanan publik, dengan mekanisme koordinasi dengan pemerintah pusat.
Keduanya membutuhkan tindakan konkret dari pihak-pihak yang terkait, terutama pemerintah pusat dan partai politik.
Pati adalah Kita dan Kita bisa menjadi Pati.
Pesan dari Pati cukup Jelas: 'pemimpin tidak boleh pongah, sebab wargalah yang memberikan Jabatan kepada pemimpin.'
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Politik, Hukum, Sosial,
| Penulis: BS
| Sumber: Bivitri Susanti,
| Penerbit: Kupang TIMES