INFO HUKUM: Ulasan SINGKAT terkait Larangan Penayangan Ekslusif Jurnalistik Investigasi, yang TERTULIS dalam Draft RUU Penyiaran.!

Edisi: 781
Halaman 2
Integritas|Independen |Kredibel

       Potret: AFP|Properti

JAKARTA, KUPANG TIMES - Rancangan Undang-Undang (RUU), saat ini, masih berstatus diharmonisasi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Republik Indonesia (Baleg DPR-RI). 

namun, diakui bahwa; terdapat sejumlah pasal yang Kontroversi dan menuai banyak Kritikan, dan DPR-RI memberi ruang, untuk menerima masukan dari masyarakat.

meski sudah melewati waktu panjang, pembahasan RUU tentang Penyiaran belum juga kelar. 

sejumlah pasal, masih menuai perdebatan antara DPR-RI dan Pemerintah. 

Keberadaan RUU Penyiaran bergesekan langsung dengan kerja-kerja jurnalistik. 

salah satu pasal yang menarik perhatian pekerja media adalah terkait larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik.

Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa, mengatakan dan menilai, sejumlah materi dalam draf RUU Penyiaran mencederai kebebasan pers dan membahayakan demokrasi. 

Organisasi dan Perusahaan Pers yang dipimpinnya, mengingatkan kemerdekaan pers dan hak masyarakat mendapatkan informasi, yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi terkait. 

menurut Teguh, salah satu yang menjadi sorotan publik dalam draf RUU Penyiaran adalah Pasal 50B ayat (2) huruf c yang tertulis: “Selain memuat panduan kelayakan isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: ...c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;”

bagi Teguh, rumusan norma Pasal 50B ayat (2) huruf c bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang tertulis: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,"

tidak hanya itu, Pasal 50B ayat (2) huruf c pun bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang tertulis: “terhadap Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran,"

bagi Teguh, sepanjang karya jurnalistik memegang prinsip kode etik dan berdasarkan fakta serta data yang benar. 

“selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi dan radio serta media digital mereka,”|Teguh Santosa (Ketum JMSI), keterangan tertulis, Rabu, (15/04/24).

Teguh, melanjutkan, secara substansi aturan yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi oleh lembaga penyiaran, dapat diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman kemerdekaan pers di tanah air. 

masyarakat khawatir RUU Penyiaran berpotensi menjadi alat kekuasaan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengebiri praktik jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

terpisah, anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran, Nurul Arifin, mengatakan RUU Penyiaran masih dalam proses pembahasan antara DPR-RI bersama pemerintah. 

Karena statusnya belum final. 

meski demikian, Nurul, mengakui sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran menuai kritik dari sejumlah kalangan.

seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42 yang memberikan KPI wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. 

Kemudian Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

“tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini,"

"Komisi I DPR-RI, terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR,”|Nurul Arifin (anggota Panitia Kerja RUU Penyiaran) 

anggota Komisi I dari Fraksi Golkar itu, kembali mengatakan, "RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran,"

"memang draf yang beredar di masyarakat tertulis ‘Bahan Rapat Baleg 27 Maret 2024,'

"tapi lagi-lagi, status RUU masih dalam pembahasan yang memungkinkan terdapat perubahan norma nantinya,"|Nurul Arifin (Anggota DPR-RI) 

selain itu terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran, seperti; pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital /atau analog switch-off.

eks aktris era 90-an itu, menegaskan, RUU Penyiaran adalah Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

menurut Nurul, RUU Penyiaran sudah digulirkan sejak tahun 2012 lalu. 

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, diperlukan penguatan regulasi penyiaran digital.

“Khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC),"

"Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini,”|Nurul Arifin (Anggota DPR-RI) 

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran. 

| Narasi: Hukum, 

| Text: W.J.B

| Sumber Literasi: Jaringan Media Siber Indonesia, Panitia Kerja RUU Penyiaran, DPR-RI, 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®