POLITICAL OPINION: 'Gibran sebaiknya Mundur Saja.!'

Edisi: 1.138
Halaman 1
Integritas |Independen |Kredibel

      Potret: PP|Properti

KUPANG TIMES - "Resistansi terhadap Gibran Rakabuming Raka makin meluas, 

dan sebaiknya, dirinya mundur, agar roda Pemerintahan berjalan efektif."

Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, tidak menyalami Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan RI, Agus Harimurti Yudhoyono dalam Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lapangan Udara Suparlan, Pusdiklatpassus, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Minggu, (10/08/25) lalu. 

sikap tengilnya, semakin memperkuat pro-kontra pemakzulan terhadap dirinya, semakin putra masif. 

Penolakan terhadap putra sulung Presiden Ke-7 RI, Joko Widodo, makin meluas. 

para pendukung Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang dulu diam saja ketika jagoannya diduetkan dengan Gibran yang mengakali Hukum, kini bersuara keras, mendukung penggulingan. 

dengan segala penolakan tersebut, otomatis membuat kinerja Politik Gibran menjadi tidak efektif.

ada banyak mimikri yang meledek Gibran. 

Mimikri di media sosial adalah peta terbesar masyarakat Indonesia berpikir, bereaksi dan mengritik para pemimpin. 

Mimikri juga merepresentasikan pertempuran berbagai aspek berbangsa yang tak bisa diabaikan begitu saja. 

bahkan, jika tidak dicermati, bisa menjadi pemicu polarisasi yang menghambat kerja bangsa ini.

dalam sejarah, banyak tokoh politik dunia yang memutuskan mundur, ketika mereka menghadapi pro-kontra atas kepemimpinannya. 

dasar pengunduran diri, ada macam-macam, tetapi biasanya karena alasan moral /atau nilai-nilai keutamaan diri sebagai manusia dan tokoh publik.

dengan begitu, pengunduran diri adalah sebuah jalan kehormatan /atau dengan kata lain, bagi politikus yang memiliki nilai keutamaan, kepentingan dan jalan politik tidak mengubah standar nilainya. 

Jika Kekuasaan tidak lagi menjadi alat untuk mewujudkan visi dalam menjaga kepentingan, keutuhan dan kesejahteraan bangsa, mereka meninggalkannya (Jabatan Publik), supaya kepentingan, keutuhan dan kesejahteraan bangsa tidak terguncang. 

sekiranya Gibran mengundurkan diri, sesungguhnya dirinya tengah menempuh jalan terhormat. 

eks Wali Kota Surakarta itu, masih muda, jalan politiknya masih terbuka lebar dan masih ada kemungkinan bisa meraih popularitas Politik yang tinggi jika mundur sekarang. 

dalam politik, pengunduran diri dari jabatan publik /atau kekuasaan bukan sebuah kekalahan, melainkan kalkulasi untuk mendapat manfaat lebih besar di masa depan.

Gibran bisa belajar dari pengunduran diri para tokoh politik, seperti;  pengunduran diri Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher pada 22 November 1990. 

meski menjadi Perdana Menteri Inggris terlama dan memperoleh capaian politik luar biasa, perseteruan Thatcher dengan Partai Buruh dan golongan kiri yang begitu tajam dan memecah belah membuat ia mengundurkan diri. 

Thatcher pun dikenang sebagai negarawan: 'politikus yang mengutamakan kepentingan Inggris ketimbang kekuasaannya belaka.'

Pengunduran Diri sebagai laku Politik Terhormat, bisa dibaca pada Presiden Ke-3 RI, B.J. Habibie, yang lebih mementingkan integrasi dan masa depan bangsa dari pada Kekuasaan. 

meski hanya setahun menjabat, Habibie mampu melakukan pencapaian luar biasa dengan menumbuhkan kepercayaan ekonomi, memberi ruang kebebasan pers, serta melahirkan undang-undang anti-monopoli dan otonomi. 

pro-kontra soal kebijakan memberi jajak pendapat di Timor Timur yang membuat Provinsi Termuda itu terlepas dari Indonesia membuat Habibie mengundurkan diri. 

Habibie, menerima keputusan Dewan Perwakilan Rakyat yang menolak pertanggung-jawabannya. 

Mohammad Hatta, mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI, ketika berselisih paham dengan Presiden RI, Sukarno. 

pengunduran diri Mohammad Hatta, berbasis, Nilai Keutamaan Bangsa semata, karena dirinya ingin memberi ruang, supaya roda pemerintahan dapat berjalan dan masyarakat tidak terpecah. 

tidak ada politikus yang ngotot mempertahankan kekuasaannya hanya karena gengsi /atau kepentingan diri sendiri.

dalam hal Gibran, ayahnya masih terlihat cawe-cawe dalam pemerintahan Presiden RI, Prabowo Subianto. 

Presiden RI, Prabowo Subianto, juga mengakomodasinya dengan acap memuji-muji kebijakan Jokowi sewaktu menjabat presiden. 

mungkin saja, Presiden RI, Prabowo Subianto, sedang melakukan rekonsilisasi dengan Jokowi, agar tak timbul kegaduhan. 

Namun, elemen masyarakat dan pengamat dan akademisi, melihatnya sebagai matahari kembar, yang memberi sinyal buruk akan kepemimpinan Presiden RI, Prabowo Subianto. 

Kalaupun tidak mengundurkan diri, bahkan bersandar pada pelindungan politik Jokowi beserta sekutu dan ahli-ahli di sekelilingnya, Gibran kehilangan kesempatan memanfaatkannya demi faedah politik. 

Gibran akan terus dikecam sebagai pemimpin yang kosong, tidak memiliki visi dan menjadi boneka ayahnya. 

Pro-kontra akan terus terjadi, yang membuat energi bangsa ini habis untuk pertengkaran yang tidak perlu.

lebih celaka lagi, Gibran dan sekutunya menganggap mimikri hanyalah hiburan media sosial. 

Akibatnya, dirinya tidak peduli, bahkan melawannya dengan menganggap mimikri itu dibuat karena kebencian yang tidak obyektif. 

Gibran, tidak menangkap kemarahan publik dalam mimikri yang bernada olok-olok itu.

sekali lagi, anjuran ini datang dari pikiran yang normal, ketika para politikus masih memegang nilai-nilai moral dan etika. 

tentu menjadi sulit kita bicara hal normal kepada perekayasa hukum dan menganggap etika sekadar pajangan serta gimik membohongi publik. 

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Politik, Sejarah, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: TCO Opini, 

| Penerbit: Kupang TIMES

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®