ENSIKLOPEDI: Mengenal K. A. R. Bosscha, Pria asal Belanda yang Dermawan terhadap Rakyat Pribumi, di Zaman Pemerintahan Hindia Belanda.?

Edisi: 986
Halaman 1
Integritas |Independen |Kredibel

                Potret: KTLV|Properti

KUPANG TIMES - setelah dihapuskannya tanam paksa pada tahun 1870, para pengusaha perkebunan Eropa berdatangan ke Indonesia. 

di Wilayah Deli, Sumatera Timur, adalah tanah kejayaan bagi pengusaha perkebunan tembakau /atau tanah Pariangan Jawa Barat yang terkenal dengan kebun-kebun teh. 

selain dua wilayah dengan dua tanaman tersebut, ada juga tanaman karet, gula, kopi dan lainnya.

perkebunan /atau onderneming, menyimpan cerita-cerita pahit, mulai dari; sewa tanah yang amat murah hingga eksploitasi kuli-nya yang juga kejam dengan sebutan Poenale Sancti. 

namun, cerita manisnya, berada di perkebunan milik Bosscha.

hingga saat ini, cerita tentang tuan kebun, nyaris selalu terdengar buruk dalam sejarah perkebunan di zaman pemerintahan Hindia Belanda. 

Sejarawan Belanda, Jan Breman, dalam buku yang berjudul: 'Menjinakkan Sang Kuli (1997),' menulis; cerita kejam perkebunan, kepada (terhadap) kuli perempuan. 

Kuli perempuan yang dianggap mengesalkan pihak perkebunan seringkali dihukum dengan olesan cabai di vagina. 

belum lagi cerita /atau gambar seorang kuli dibuka celana bagian bokongnya lalu dicambuk rotan.

Namun, di perkebunan yang dikelola oleh tuan kebun bernama lengkap Karel Albert Rudolf Bosscha, tidak pernah terdengar cerita kelam, seperti diatas, hingga sekarang. 

sebagian orang di Bandung, Lembang dan Pangalengan tahu bahwa; Bosscha, yang kaya-raya, karena perkebunan dan pabrik tehnya di Malabar, Pangalengan, adalah sosok tuan kebun dermawan.

menurut Her Suganda, dalam 'Wisata Parijs van Java (2014),' Bosscha telah mendirikan sekolah dasar vervoolgschool untuk anak-anak petani di kebunnya, menyumbang kekayaannya, untuk membangun kampus ITB dan membangun observatorium Bosscha yang terkenal  hingga saat ini. 

Bosscha termasuk salah satu pendukung politik etis yang diterapkan di Hindia Belanda sejak 1900. 

Salah satu butirnya terkait pembangunan pendidikan untuk orang-orang pribumi. 

meski sekolah dasar yang dibangun derajatnya di bawah sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa /atau para pembesar kala itu, akan tetapi tidak banyak orang Belanda, yang seperti; sosok Bosscha yang peduli pada sekelilingnya.

KAR Bosscha adalah putra dari fisikawan Belanda, Prof. Dr. J. Bosscha Jr. dan ibunya Paulina Emilia Kerkhoven. 

ayahnya pernah jadi direktur Sekolah Tinggi Teknik Delft. 

sebagian masa mudanya dihabiskan dengan kuliah teknik sipil, meski akhirnya tidak lulus. 

laki-laki kelahiran s-Gravenhage 15 Mei 1865 tersebut, memutuskan untuk berlayar ke Jawa di usia 22 tahun.

berdasarkan buku 'All About Tea (2016)' karya; Willem Ulkers, Bosscha berlayar di Desember 1887. 

Bosscha diperkenankan tinggal dengan pamannya, Eduard Julius Kerkhoven, yang sudah mengelola perkebunan di Sinagar, dekat Sukabumi. 

Bosscha, sempat juga ke Kalimantan Barat, mencari kemungkinan eksplorasi emas. 

Namun, pada 1892 Bosscha kembali lagi ke pamannya, ikut mendirikan dan menjadi pengawas dari perusahaan telepon di Priangan. 

Bosscha, kemudian membangun perkebunan di Malabar, di Pangalengan, pada 1896. 

tidak hanya kebun teh saja tapi kemudian melengkapi dengan laboratorium dan pabriknya.

“di bawah pengawasan K. A. R. Bosscha, Pangalengan, sebagai lahan perkebunan teh yang dapat memproduksi teh yang berkualitas dan mampu bersaing dengan teh dari Cina, India dan Srilangka,”|Ahmad Mansur Suryanegara (Sejarawan Jawa Barat), dalam bukunya; Pemberontakan Tentara Peta di Cileunca, Pangalengan (1996).

Potret: PT. Perkebunan Nusantara VIII Warisan dari K. A. R. Bosscha |Properti

Bisnis Teh membuat Bosscha menjadi kaya raya, tapi tetap jadi sosok yang dermawan. 

Sekolah Dasar di dalam kebunnya dan Sekolah Tinggi Teknik di Jawa Barat, Bosscha juga ikut bantu pembangunannya. 

Salah satu sumbangannya kepada Sekolah Tinggi Teknik pertama di Indonesia adalah sebuah ruangan kuliah yang dikenang sesuai namanya: Ruang. Bosscha. 

dengan uangnya yang berlimpah, Bosscha juga bisa mewujudkan obsesinya akan observasi bintang.

“K.A.R. Bosscha, raja teh, salah satu orang Belanda terkaya di koloni itu. 

Bosscha tinggal di pekarangannya di Malabar, sebuah bukit dekat Bandung dan Lembang.”|Mrazek (Penulis) dalam bukunya; 'Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).'

menurut Rudolf Mrazek, demi obsesinya pada ilmu perbintangan, pertengahan 1920-an, Bosscha mewujudkan, dengan membangun sebuah gedung di atas bukit, yang dikenang hingga kini. 

setelah membangun gedung tersebut, Bosscha, membawa sejumlah mesin yang menakjubkan ke bukit tersebut. 

Bukit yang dimaksud adalah bukit yang kini menjadi observatorium Bosscha, Lembang, Bandung Utara, Jawa Barat. 

menurut Her Suganda, bukit tersebut, semula milik keluarga Ursone, yang kaya sebagai pengusaha susu di Lembang. 

Bukit tersebut, terletak di kaki Gunung Tangkuban Perahu, dengan ketinggian 1.300 di atas permukaan laut, berudara sejuk dan tenang kala itu.

Potret: Wikipedia|Properti • Bosscha (tengah) bersama isterinya dan temannya

Bosscha dan teman-temannya mulai mengusahakan pembelian beberapa teropong bintang raksasa, yang sangat mahal harganya, dari Jerman. 

Bosscha cs, membeli peralatan mewah kala itu di tengah hancurnya ekonomi Jerman yang telah dipecundangi dalam Perang Dunia I dan Perjanjian Versailles.

Mrazek, menulis, mimpi besar Bosscha adalah membangun observatorium terbaik di bumi belahan selatan. 

“Pengamatan bintang-bintang di Lembang segera sama populernya dengan perjalanan penerbangan udara, kereta api dan perjalanan darmawisata udara,”|Mrazek (Penulis), dalam bukunya.

       Potret: ITB|Properti

majalah terbitan Balai Poestaka, Pandji Poestaka, Edisi: 5 Oktober 1928 menulis bahwa; 'Dewan Kotapraja Bandung, dalam sidangnya memutuskan Karel Albert Rudolf Bosscha sebagai warga utama dari Kotapraja Bandung.'

Bosscha dianggap telah memberi sumbangan besar bermanfaat bagi Kota Bandung. 

setidaknya, Bosscha telah memberikan tanah seluas 25.000 meter persegi di belakang rumah sakit Juliana untuk kankerinstituut (institut kanker). 

dan Bosscha juga menyumbang uang sebesar f 200 ribu. 

“Peninggalannya berupa; kebun teh dan fasilitasnya, seperti; pabrik, pusat listrik tenaga mikrohidro, perumahan karyawan serta tempat tinggalnya hingga kini masih dipelihara PT Perkebunan Nusantara VIII,”|Her Suganda (Penulis) 

Observatoriumnya, meski sudah sangat terganggu dalam melihat bintang oleh banyaknya pemukiman, tetap menjadi observatorium terkenal di Indonesia. 

nama Bosscha pun tetap melekat di hati rakyat Bandung, sejak kematiannya 26 November 1928 silam dan dimakamkan di Malabar.


BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Sejarah, Pendidikan, Sosial, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: Tirto, Jan Breman (Penulis), Her Suganda (Penulis), Willem Ulkers (Penulis), Rudolf Mrazek (Penulis), Majalah Pandji Poestaka, 

| Penerbit: Kupang TIMES 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®