Edisi : 330
Halaman 2
Foto: PixabayKUPANG TIMES - Apa itu Hukuman Mati, jenis Hukuman yang kerap di pertanyakan oleh sebagian masyarakat di Indonesia, sebab istilah Hukuman Mati ini, masih kurang familiar bagi masyarakat awam.
Istilah Hukuman Mati, kini banyak di perbincangkan, setelah Mantan Kadiv Propam Polri, Irjen. Pol. Ferdy Sambo, di-vonis Hukuman Mati dalam kasus pembunuhan berencana, terhadap Brigadir Josua Hutabarat /atau Brigadir J., Senin, (13/02/23) lalu.
Berikut, ulasan lengkap, apa itu Hukuman Mati, dan Tata Cara Pelaksanaannya di Indonesia:
Apa itu Hukuman Mati.?
Pidana mati /atau Hukuman mati menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan pencabutan nyawa terhadap terpidana.
Sementara itu, di-lansir dari laman Kemenkumham RI, Hukuman mati /atau Pidana mati adalah praktik yang di-lakukan suatu Negara untuk membunuh seseorang sebagai Hukuman /atas suatu Kejahatan.
Dalam bahasa Belanda, Hukuman mati di-kenal dengan istilah Doodstraf.
Hukuman Pidana mati merupakan perbuatan Negara dalam mematikan Pelaku tindak Pidana yang telah di-putuskan bersalah oleh Pengadilan atas Kejahatan yang telah di-lakukan.
Sejarah Hukuman Mati,
Menilik dari sejarahnya, hukuman mati di Indonesia telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry Willem Daendels, berkuasa di Indonesia, pada tahun 1808.
Ketika itu, Hukuman mati umumnya di-berikan kepada warga pribumi yang tidak mau di-jadikan suruhan /atau tidak menuruti perintah Daendels.
Sementara itu, di-lansir dari laman Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Pidana mati di dunia, telah di-gunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM).
Saat itu, dalam Hukum yang di-berlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 Kasus Kejahatan yang di jatuhi Pidana mati.
Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga di-berlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet).
Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas, di-bakar, dan lain-lain.
Kemudian, pada tahun 1890, Negara bagian New York, Amerika Serikat mengembangkan Kursi Listrik dan awalnya di-lakukan, pada tahun 1890 untuk mengeksekusi Raja William.
Hingga saat ini, hanya Negara bagian Nebraska yang memberlakukan Kursi Listrik sebagai metode eksekusi Pidana mati.
Pada tahun 1924, Negara bagian Nevada kemudian menggunakan Kamar Gas dengan Sianida sebagai metode eksekusi Pidana mati.
Hukuman dengan metode ini terakhir di gunakan pada tahun 1999.
Hingga, Juni, tahun 2006, hanya 68 Negara yang masih menerapkan praktek Hukuman mati, termasuk Indonesia.
Lebih dari setengah Negara-negara di dunia, telah menghapus praktek Hukuman mati.
Ada 88 Negara yang telah menghapus Hukuman mati untuk seluruh kategori Kejahatan, 11 Negara menghapus Hukuman mati, untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Pelaksanaan Pidana Hukuman Mati di Indonesia,
Pelaksanaan Pidana mati yang di-lakukan di Indonesia pada mulanya di-atur dalam Pasal 11 KUHP.
Pidana Mati ini di-jalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, lalu menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Pelaksanaan eksekusi Pidana mati tersebut di-atas, kemudian di-ubah melalui Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964.
Dalam Undang-Undang tersebut, pidana mati yang dijatuhkan di lingkungan Peradilan Umum /atau Peradilan Militer, di-lakukan dengan cara, di-tembak sampai mati.
Perubahan ini di-lakukan, karena ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai tata cara pelaksanaan Pidana mati, sebelumnya di-nilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia.
Kemudian, pelaksanaan Pidana mati kembali mengalami pembaharuan dengan di-keluarkannya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Adapun pelaksanaan pidana mati menurut Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964, sebagai berikut:
1. Jika tidak di-tentukan oleh Menteri Kehakiman, Pidana mati di-laksanakan dalam daerah Hukum Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama;
2. Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasihat Jaksa Tinggi /Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan Pidana mati;
3. Kepala Polisi Daerah membentuk suatu regu penembak dari Brigade Mobil yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tantama, di bawah pimpinan seorang Perwira;
4. Terpidana di-bawa ke tempat pelaksanaan pidana mati dengan pengawalan Polisi yang cukup, dapat di-sertai oleh seorang Perawat, Rohaniwan, berpakaian sederhana dan tertib;
5. Setiba di tempat pelaksanaan Pidana mati, komandan pengawal menutup mata terpidana mati dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendaki;
6. Terpidana dapat menjalani Pidana secara berdiri, duduk atau berlutut, jika di-pandang perlu Jaksa Tinggi /Jaksa yang bertanggung jawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya, atau-pun di-ikat kepada sandaran yang khusus di-buat untuk itu;
7. Setelah terpidana siap ditembak, regu penembak dengan senjata sudah di-isi menuju tempat yang di-tentukan, jarak antara titik dimana terpidana berada dengan regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter, dan tidak boleh kurang dari 5 meter;
8. Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi /Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan Pidana mati;
9. Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana, dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak;
10. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana mati tepat di atas telinganya;
11. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat di-minta bantuan seorang dokter;
12. Penguburan di-serahkan kepada keluarganya /atau sahabat terpidana mati, kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab memutuskan lain.
|Narasi: Hukum, Pemerintah,
|Teks: W.J.B
|Sumber Literasi: KBBI, Kemenkumham RI, W.J.B,